Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ummu Hasan

Benerapa Tradisi Santri yang Tetap dilestarikan

Agama | Sunday, 05 Jun 2022, 06:06 WIB

Meskipun hanya menempuh pendidikan pesantren selama tiga tahun , tepatnya di Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang, pada 1992-1995, sampai sekarang, saya masih mengingat berbagai hal berkaitan dengan apa yang diajarkan oleh para Guru Kyai dan Bu Nyai, termasuk kebiasaan-kebiasaan sehari-hari.

Baik kebiasaan cara makan, berpakaian, selera bacaan, bersosial dan lain-lain sebagainya terutama yang berkaitan dengan spiritual.

Berikut ini beberapa kebiasaan santri di pesantren yang masih dilakukan sampai sekarang :

1. Shalat berjemaah. Meskipun sudah tidak lagi rutin, karena berbagai hal, saya berusaha melakukan salat jemaah. Tidak harus di masjid. Misal ketika di rumah, saya akan mencari-cari anak kecil saya untuk menemani salat. saya ingat sewaktu di pondok, salat dhuhur biasanya dilakukan di kamar, karena para santriwati baru pulang sekolah sekitar jam 13.00. (tahun 1993).

Seorang santri akan selalu mencari kawannya yang belum salat untuk diajak salat berjemaah. Hal ini karena pesan bu Nyai, salat jemaah minimal 2 orang itu sudah sah mendapatkan keutamaan 27 derajat dari salat sendirian.

2. Mendaras Al-Qur’an. Sebagai bacaan wajib, tiap santri harus membaca Al Qur’an. Sebagian malah harus dihafal. Seperti surat-surat pilihan sebagai wirid harian.

3. Memakai sarung. Sekalipun seorang santriwati, dia tidak akan asing dengan sarung. Sarungnya santriwati itu dari kain batik. Dipakai setiap kali melakukan kegiatan sehari-hari. Untuk ngaji di pendopo, santai di kamar, ke kantin, dan sebagainya. Semua toko keperluan santri yang ada di sekitaran pondok akan selalu menyediakan sarung batik santri yang harganya kisaran 25 ribu.

Penampilan seorang santri sehari-harinya adalah memakai sarung, berkerudung, berkopyah, sebagai identitas yang akan terus di bawanya sepanjang hidup. Sarung dan kopyah adalah identitas kaum santri namun,sudah menjadi budaya dalam masyarakat.

4. Ziarah. Jika sebuah pemakaman orang alim atau wali maupun ulama ramai diziarahi, hal itu karena peziarahnya adalah alumni pesantren, anak pesantren, atau anaknya orang-orang yang pernah mengenyam di pondok pesantren.

Santri akan selalu diajarkan menghormati para wali, ulama dan Kyai, baik yang hidup maupun yang wafat. Yang dilakukan di sana adalah mendoakan mereka dan bertawasul. Jika ada yang menyalahkan amalan mereka, percayalah seorang santri tidak akan mempan dipengaruhi. Sebab Ilmu yang diajarkan pada mereka datang dari hamba Allah yang alim dan ilmunya tersambung pada Rasulullah. Istilah orang jawa, “Idu Geni”. Mantap di hati sanubari para santri.

5. Tatag. Bukan santri kalau tidak tatag. Cemen dan cengeng, manja dan gampang panik. Seorang santri dididik untuk jauh dari dekapan orangtuanya, menghadapi dan menyelesaikan persoalan apapun sendirian. Berkawan sesama santri yang senasib seperjuangan.

Seorang santri akan tahan lapar, tatkala uang saku sudah habis. Dia akan melewatinya dengan puasa daud. Makan seadanya, tanpa lauk pun bisa. Seberapa kaya orang tuanya ia akan makan sesuai yang disediakan oleh pondok.

Tak hanya itu, seorang santri, berapa pun usianya suka tidak suka, ia akan menghadapinya sendirian. Persoalan perundungan, diskriminasi, kedzaliman,dan lain sebagainya. Dan dari pengalamannya itulah dapat kita lihat karakter seorang santri, dia akan bisa memiliki keberanian, termasuk menyuarakan kebenaran.

6. Mengunjungi Ulama. Dalam kehidupan barunya, seorang santri pasti akan selalu merindukan sosok Kyai. Untuk itulah dia akan selalu rindu, dia akan mendekat, bersilaturahmi, memohon didoakan, atau memang hanya sekedar kangen ingin berkunjung sambil membawa anak-anaknya, lalu disampaikanlah kalau anaknya ini akan di pondokkan. Demikian seterusnya.

7. Tahlilan. Seorang santri akan tetap melestarikan tahlilan. Yang diterapkan baik ketika dia sudah menjadi santri atau setelahnya. Hal itulah kemudian akan mewarnai tradisi dalam keluarganya, atau lingkungan sekitarnya.

8. Makan Bersama. Makan bersama ala santri itu biasanya dengan menggunakan nampan lebar. Mereka akan duduk melingkar. Mereka juga tidak akan risih harus bercampur dengan bekas comotan tangan temannya. Jika itu masih terjadi pada seorang dewasa, bisa dipastikan dia adalah seorang santri.

9. Minum bekas Kyai. Beberapa orang selain santri pasti akan risih minum bekas minuman gurunya. Tetapi bagi kaum santri, itu adalah cara cepat mendapat berkah melalui energi positif yang ada dalam air minum tersebut dari ludah seorang ulama. Ingat tentang teori “Air Hado” nya Massaru Emoto? Kalau tidak tahu silahkan Browsing ke mbah Google.

10. Mengikuti apa kata Kyai. Itu adalah prinsip dan tradisi santri. Seorang santri memiliki ciri khas mengikuti dan menaati perintah sang Kyai, sebagai figur yang mendidik dan mengasuhnya. Penghormatan nyata para santri adalah sikap tawadu dan taat dengan nasehat-nasehat dan pesannya. Mereka tidak akan melibatkan logika dalam hal ini.

11. Mendatangi Majelis Ulama. Santri tidak akan meninggalkan Kyai. Ada semacam ikatan kuat yang tidak tampak, meskipun bukan pada Kyai yang mengasuhnya. Mungkin yang menyambung ikatan-ikatan itu adalah ruh para guru pada masa sebelumnya. Terhubung karena doa, ilmu, amalan, dzikir, dan lain sebagainya.

12. Hidup Sederhana. Dalam kesehariannya, seorang santri adalah pribadi dan gaya hidupnya sederhana. Hal ini dididik dari pesantren. Almari pakaian yang kecil, karena kami dibatasi membawa 4 stel pakaian sehari-hari selain seragam sekolah. Kami dididik rajin mencuci baju dan tidak diperbolehkan membawa melebihi ketentuan. Hal tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi gaya hidupnya di masa-masa yang akan datang.

13. Memakai Bakyak. Sampai-sampai dulu itu ada istilah popular, “Santri Bakyak”. Bakyak merupakan kasta alas kaki paling rendah. Dan bagi kaum santri, bakyak adalah alas kaki ternyaman yang sehari-hari kami pakai.

Sembari bersarung, berkerudung, dan membawa kitab kuning, derap langkah kaki yang memakai bakyak itu menggema di lorong-lorong bilik pesantren menuju pendopo. Di sana sosok kyai sudah menunggu para santrinya. Di pagi hari waktu subuh, ashar, dan sesudah isyak.

Sebagaimana saya sebagai alumni pondok pesantren, menemukan bakyak di zaman sekarang adalah hal yang sangat membahagiakan. Masa-masa talabul ilmi itu muncul lagi. Bakyak memiliki kenyamanan tersendiri, salah satunya sangat cocok untuk aktifitas wudu dan mandi. Anti kepleset. Mirip sendalnya orang-orang jepang. Mungkin, bakyak atau kelompen itu adalah pengaruh orang jepang yang pernah singgah dan menjajah bangsa kita beberapa tahun itu.

14. Membaca Kitab Klasik. Sumber ilmu dan referensi pengetahuan agama adalah kitab-kitab induk. Dan di pesantren kami belajar beberapa kitab induk. Seperti Fathul Qarib (Fikih), Fathul Bari,Shahih Bukhari-Muslim,Bidayatul Hidayah, Tafsir Jalalain, Al Ibriz, kitab sharaf dan Nahwu, tajwid, serta beberapa kitab tambahan. Seperti Fathul Izar, Qurotul Uyun, Uqud Dulujain, Akhlaqun Nisa dan lain-lain sebagainya.

Sekalipun sekolah di luar negeri, membaca berbagai buku-buku, seorang santri akan terus mencari bacaan-bacaan yang dulunya dipelajari di pesantren. Dengan membaca kitab-kitab tersebut, dalam kehidupannya setelah pesantren seorang santri merasa terhubung lagi dengan para gurunya.

15. Cinta tanah air. kami para santri diajari mencintai tanah kelahiran kami, Negara dan budaya kami, sebagai hal tidak teripisahkan dari kehidupan kami. Guru kami berpesan, “Jika kamu tidak mencintai tanah airmu, sampai kamu kehilangan negaramu, bagaimana kamu menjalankan agamamu?”. Tanah air adalah tempat kita sujud menyembah Allah.

Menyintai tanah air dengan baik, adalah cara para santri untuk bisa memperpanjang sujud sampai anak-cucu kami .

.

Sebenarnya masih banyak hal terkait gaya hidup santri yang masih akan dilakukan dan dibawa dalam kehidupannya dimana dan kapan saja ia berada. Dan seorang figur santri adalah adalah bagian dari umat islam yang telah dan akan mengambil peran sebagai bagian dari bangsa, meneruskan cita-cita pendahulu negeri ini. ***

Penulis merupakan guru di MAN 2 Mojokerto, penulis buku cerpen, catatan perjalanan, puisi, esai, redaktur Elipsis, dan Content Writer. Saat ini tinggal di Kota Mojokerto

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image