Senin 06 Jun 2022 16:35 WIB

Washington DC Laporkan Kasus Cacar Monyet Pertama

Kasus cacar monyet Washington DC teridentifikasi dari warga yang bepergian ke Eropa

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Cacar monyet atau monkeypox. Ilustrasi
Foto: Pixabay
Cacar monyet atau monkeypox. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Ibu kota Amerika Serikat (AS), Washington DC melaporkan kasus cacar monyet pertamanya pada Ahad (5/6/2022) waktu setempat. Kasus tersebut teridentifikasi pada seorang warga yang belum lama ini bepergian ke Eropa.

"Sampel yang dikumpulkan telah dikirim ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk pengujian lebih lanjut dan konfirmasi virus Monkeypox," kara Otoritas Kesehatan Washington, DC Health, dikutip laman Anadolu Agencies Senin (6/6/2022).

Pasien saat ini diisolasi dan tidak berisiko bagi masyarakat. "DC Health sedang mengidentifikasi dan memantau kontak dekat. Namun, saat ini, tidak ada kasus tambahan yang diidentifikasi di Distrik tersebut," kata pernyataan DC Health.

Pada Jumat pekan lalu, CDC mengatakan jumlah kasus cacar monyet meningkat lebih dari dua kali lipat selama sepekan terakhir menjadi 20 di 11 negara bagian AS. AS saat ini memiliki dua vaksin untuk melawan virus dalam persediaan nasionalnya. CDC pun telah mulai mendistribusikannya ke negara bagian.

Cacar monyet atau monkeypox biasanya dimulai dengan gejala seperti flu dan pembengkakan di kelenjar getah bening sebelum ruam mulai terbentuk di wajah dan tubuh. Gejala dapat memakan waktu hingga 21 hari untuk muncul setelah terpapar.

Ratusan kasus telah terdeteksi di seluruh dunia sejak kasus pertama kali terdeteksi di Eropa dan AS bulan lalu. Virus ini endemik di Afrika bagian barat dan tengah.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sekitar  780 kasus cacar monyet telah dilaporkan di 27 negara non-endemik. Namun WHO mengatakan bahwa tingkat risiko global ada pada taraf sedang.

WHO mencatat angka 780, untuk kasus dari 13 Mei hingga 2 Juni, mungkin terlalu rendah karena informasi epidemiologis dan laboratorium yang terbatas. "Sangat mungkin negara lain akan mengidentifikasi kasus dan akan ada penyebaran virus lebih lanjut," tambah badan kesehatan PBB itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement