Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Debrina Lintang Setyorini

Dibalik Sulitnya Pencegahan Perilaku Merokok Di Indonesia

Gaya Hidup | Thursday, 09 Jun 2022, 10:15 WIB

Merokok adalah aktivitas yang masih menjadi salah satu masalah terbesar kesehatan yang dapat menyebabkan kematian hingga saat ini. Sekitar 6 juta perokok aktif di dunia mengalami kematian di setiap tahunnya dan sekitar 600 ribu orang perokok pasif juga diperkirakan meninggal disebabkan oleh paparan asap rokok secara langsung. Pada tahun 2030, diperkirakan lebih dari 8 juta kematian yang disebabkan oleh rokok yang mana lebih dari separuh angka tersebut merupakan usia awal memulai penggunaan rokok. Prevalensi perokok di Indonesia berdasarkan data WHO Report on the Global Tobacco Epidemic 2019 menunjukkan angka 62,9% pada pria serta 4,8% pada wanita, penelitian WHO di Indonesia juga menyatakan bahwa penggunaan tembakau dalam bentuk rokok yaitu sebanyak 24,8% atau sebanyak 59,9 juta penduduk dari seluruh bentuk penggunaan tembakau di Indonesia, kondisi tersebut menurut WHO dapat diartikan bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami darurat rokok. Perokok di Indonesia bukan hanya dari kalangan dewasa, namun aktivitas merokok juga populer di kalangan remaja seperti yang ditunjukkan dari data Kemenkes dimana prevalensi remaja usia 16-19 tahun yang merokok meningkat sebanyak 3 kali lipat dari 7,1% pada tahun 1995 menjadi 20,3% pada tahun 2009.

Merokok dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, baik itu ditimbulkan langsung oleh faktor merokok maupun penyakit yang telah ada sebelumnya diperburuk oleh aktivitas merokok. Dalam pembahasan buku tentang fakta tembakau yang terbit pada tahun 2014 oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan Tobacco Control Support Center (TCSC) menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan sakit dan disabilitas tentang penyakit yang ditimbulkan oleh rokok sebesar 235,4 triliun rupiah sedangkan untuk total biaya rawat jalan serta rawat inap yang diperlukan sebesar 5,35 triliun rupiah, kondisi tersebut tentu saja menyebabkan kerugian ekonomi yang dialami Indonesia yaitu sebesar 378,75 triliun rupiah.

Untuk mengatasi permasalahan perokok yang semakin bertambah, pemerintah Indonesia telah melakukan kampanye mengenai bahaya rokok sejak lama, baik itu berupa baliho maupun berbagai macam iklan rokok di tempat umum. Selain melakukan kampanye, pemerintah membentuk regulasi utama secara khusus untuk mengatur pengendalian masalah merokok yaitu dengan adanya Peraturan Pemerintahan Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa tembakau bagi kesehatan diarahkan supaya tidak membahayakan kesehatan pengguna maupun lingkungan. Pemerintah juga menetapkan aturan seperti kandungan kadar dari nikotin dan tar, adanya persyaratan produksi dan penjualan rokok, penetapan kawasan rokok, serta aturan syarat iklan dan promosi rokok.

Banyak perokok menyadari resiko dari merokok dan mengetahui bahaya dari rokok. Namun, meskipun mengetahui akan bahaya rokok mengapa masih banyak orang yang melakukan aktivitas merokok?. Berhenti merokok harus diawali dengan niat, tidak ada obat yang dapat menghilangkan kebiasaan merokok. Menghentikan kebiasaan merokok oleh perokok bukanlah tugas yang mudah terutama bagi perokok Indonesia. Dari hasil survei lembaga yang menanggulangi masalah rokok, sebanyak 66,2 % perokok pernah mencoba untuk berhenti namun tidak berhasil, faktor kegagalan ini bisa disebabkan karena tidak mengetahui cara yang tepat untuk berhenti merokok dengan persentase sebesar 42,9%.

Sebuah studi kasus menyebutkan bahwa mereka mempertahankan kebiasaan merokok akibat dari rasa yang didapatkan dari rokok itu sendiri, yaitu kepuasan yang berupa kenikmatan batin. Bahkan tak sedikit yang mengatakan bahwa merokok dapat membantu kehidupan sehari-hari mereka, misalnya seperti lebih fokus dalam bekerja apabila diselingi dengan merokok. Perilaku merokok juga berasal dari faktor lingkungan dan individu. Remaja yang merokok berhubungan erat dengan krisisnya aspek psikososial yang dialami selama masa perkembangan dimana yang merujuk pada masa remaja untuk mencari jati dirinya. Remaja cenderung belum mempunyai pendirian yang kuat sehingga mengikuti ajakan oleh teman sebaya untuk melakukan merokok sebagai pertahanan terhadap penolakan karena adanya perubahan fisik bercampur emosi yang membuat ketidaksiapan untuk menolak. Kegiatan merokok juga dianggap remaja sebagai simbol kegagahan yang membuat para remaja akhirnya berlomba untuk merokok agar mendapatkan predikat kegagahan tersebut.

Faktor lain yang menyebabkan sulitnya pencegahan rokok di Indonesia yaitu ketidakpercayaan bahwa kondisi sakit terjadi dari dalam diri individu, mereka percaya bahwa kondisi sakit atau sehat yang terjadi dalam dirinya disebabkan oleh adanya takdir. Seperti teori yang dikembangkan oleh Wallston yaitu Teori Health Locus Of Control, dimana derajat kepercayaan individu mengenai apakah kesehatannya dikendalikan oleh faktor-faktor internal atau eksternal. Dari survei pada tahun 2019 terdapat perokok yang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah sakit akibat merokok, “Saya paham mengenai kampanye anti rokok, tapi saya tidak terlalu peduli karena tidak pernah sakit akibat merokok”.

Tak sedikit perokok yang beranggapan bahwa kampanye anti rokok yang dilakukan pemerintah ialah hal yang ambigu karena menurut perokok pemerintah menerima pendapatan dari cukai rokok dan mereka juga menganggap rokok dapat membuka banyak lapangan pekerjaan ditinjau dari Indonesia yang menempati peringkat ke-5 sebagai produsen tembakau di dunia. Sekitar 1.132 pabrik rokok yang menyebar di Indonesia yang mana harus melibatkan jutaan orang pekerja, di tahun 2013 terhitung sebanyak 114 juta orang diantaranya 35% di sektor pertanian, 25% di sektor industri, dan 45% di sektor jasa distribusi rokok Indonesia. Keadaan inilah yang menjadi alasan produksi rokok tersebut meningkat karena berkontribusi dalam pendapatan juga menyebabkan bertambahnya kognisi perokok terhadap tidak sesuainya kampanye anti rokok dengan kebijakan pemerintah sehingga membuat dirinya mengurangi disonansi yaitu dengan membenarkan perilaku merokok.

Perokok bukan berarti tidak mengerti mengenai risiko dari kebiasaan merokok, akan tetapi mereka beranggapan bahwa manfaat yang diperoleh lebih terasa daripada faktor risiko, hal ini bisa terjadi karena manfaat tersebut bisa langsung dirasakan saat itu juga sedangkan risiko yang dihadapi tidak akan langsung terjadi setelah mereka merokok.

Referensi:

Sulastri, S. Herman, D. Darwin, E. 2018. Keinginan Berhenti Merokok Pada Pelajar Perokok Berdasarkan Global Youth Tobacco Survey di SMK Negeri Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2).

Fadholi, dkk. 2020. Disonansi Kognitif Perokok Aktif Di Indonesia. Jurnal Riset Aktual Psikologi, 11(1).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image