Jumat 10 Jun 2022 17:20 WIB

Berqurban dengan Cara Berutang, Bolehkah dalam Hukum Islam?

Membayar hutang pada dasarnya lebih diutamakan daripada qurban

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi qurban. Membayar utang pada dasarnya lebih diutamakan daripada qurban.
Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani
Ilustrasi qurban. Membayar utang pada dasarnya lebih diutamakan daripada qurban.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setiap Muslim yang taat pasti mendambakan untuk mensyiarkan lebaran Idul Adha dengan menyembelih hiwa kurban. Namun, karena tidak memiliki uang cukup, keinginan itu pun belum terpenuhi.

Lalu, bagaimana jika ada orang yang menawarkan uang pinjaman untuk dipakai membeli hewan kurban? Bolehkah dalam pandangan fiqih?

Baca Juga

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI), Ustadz Ahmad Sarwat, menjelaskan bahwa yang pertama kali harus dipahami adalah ibadah menyembelih hewan qurban itu bagi yang mampu dan punya uang. Menurut dia, ibadah ini bukan kewajiban, melainkan hanya sunnah.

Buktinya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiyallahuanhu meski keduanya orang kaya dan menjadi amirul-mukminin, tidak setiap tahun melakukan penyembelihan hewan qurban. 

“Kalau mereka yang kaya dan berkecukupan saja tidak diwajibkan untuk menyembelih hewan qurban, apalagi kita yang tidak mampu dan tidak punya harta, tentu hukumnya lebih tidak wajib lagi, bukan?,” jelas Ustadz Sarwat dikutip dari laman resmi RFI.

Kendati demikian, lanjut Ustadz Sarwat, terlepas dari urusan hukumnya yang sunnah, para ulama berbeda pendapat dalam pinjam uang untuk berqurban. Sebagian ulama ada yang membolehkannya, namun sebagian lain ada yang tidak membolehkan. 

Di antara pihak yang membolehkan berqurban dengan uang hasil utang adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri rahimahullah.

“Dulu Abu Hatim pernah berutang untuk membeli unta kurban. Beliau ditanya: “Apakah kamu berutang untuk membeli unta kurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah  SWT berfirman:

لَكُمْ فِيهَا خَيْر “Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta qurban tersebut).” (QS Al Hajj: 36)

Jadi apabila tidak merepotkan dalam urusan membayar uang penggantian utang, dan juga tidak mengandung riba, maka berutang untuk berqurban pada dasarnya dibolehkan, setidaknya menurut pendapat ini. 

Sedangkan sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan utang dari pada berqurban. Artinya, tidak dianjurkan berutang demi sekadar melaksanakan penyembelihan hewan qurban yang hukumnya sunnah.

Syekh Ibn Utsaimin mengatakan, “Jika orang punya utang maka selayaknya mendahulukan pelunasan utangnya daripada berkurban.”

Bahkan, Syekh Ibn Utsaimin pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit utang, dan beliau menjawab,

“Jika dihadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunasi utang orang yang fakir maka lebih utama melunasi utang tersebut, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit utang tersebut adalah kerabat dekat.”

Sejatinya, menurut Ustadz Sarwat, pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berutang.

Sikap ulama yang menyarankan untuk berutang ketika berqurban adalah untuk orang yang keadaanya mudah dalam melunasi utang atau untuk utang yang jatuh temponya masih panjang. 

Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan utang daripada qurban adalah untuk orang yang kesulitan melunasi utang atau pemiliknya meminta agar segera dilunasi.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement