Ahad 17 Jul 2022 09:46 WIB

Pandangan dan Jalan Hidup di Balik Ibadah Kurban

Pandangan dan Jalan Hidup di Balik Ibadah Kurban

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Pandangan dan Jalan Hidup di Balik Ibadah Kurban - Suara Muhammadiyah
Pandangan dan Jalan Hidup di Balik Ibadah Kurban - Suara Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menyelenggarakan salat Idul Adha di halaman terbuka kampus 4 (utama) pada Sabtu (9/7).

Salat Id di lapangan (halaman) terbuka adalah momentum yang rutin diselenggarakan. Akan tetapi, selama Pandemi Covid-19, yaitu 2 tahun ke belakang UAD tidak menyelenggarakan salat Id di lapangan.

Salat Id di halaman terbuka kampus UAD baru bisa diselenggarakan kembali kemarin pada momentum Idul Adha 1443 H. Masyarakat di sekitar kampus UAD pun sangat antusias dalam mengikuti kegiatan salat Id ini.

Adapun imam dan khatib pada pelaksanaan Idul Adha 1443 H ini adalah ustaz Nur Kholis (MTT PP Muhammadiyah, Dekan FAI UAD, dan Ketua DKM Islamic Center UAD). Dalam khutbah kali ini ustaz Nur menyampaikan perihal “Pandangan Hidup dan Jalan Hidup dalam Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail”.

Al-Qur’an al-Karim adalah kalamullah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dari Allah di dalamnya memiliki dua karakter, yaitu sebagai pandangan hidup dan jalan hidup.

Pandangan hidup adalah nilai-nilai hidup itu adalah Iman sementara dalam hidup adalah amal sholeh amal sholeh akan mengiringi pandangan hidup tergantung pandangan hidup kita seperti apa maka di situlah perilaku kita akan menentukan.

Di antara cara Allah Swt memberikan petunjuk mengenai pandangan hidup dan jalan hidup adalah dengan metode kisah. Hampir 1/3 dari al-Qur’an berisikan kisah. Ini artinya Allah Swt sedang membimbing kita menuju sebuah peradaban yang mulia melalui kisah-kisah dalam al-Qur’an.

Di antara kisah tersebut adalah kisah Nabiyullah Ibrahim dan Ismail as yang terdokumentasikan dalam al-Qur’an, misalnya QS. Ash-Shaffāt ayat 100-110.

Dalam QS. Ash-Shaffāt ayat 100 diawali dengan permohonan Nabi Ibrahim as kepada Allah Swt agar dikaruniai anak yang saleh:

رَبِّ هَبۡ لِي مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Artinya: (ketika Ibrahim berdoa) “Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.”

Dalam ayat ini mengapa Nabi Ibrahim memohon anak yang saleh? Allah Swt melalui Nabi Ibrahim hendak mengajarkan pada kita mana yang termasuk dunia dan mana yang termasuk rezeki.

Dunia adalah apa yang kita pakai, kita makan, kita tempati. Sifatnya sementara. Terkadang Allah menyebut dunia dalam al-Qur’an sebagai kesenangan yang menipu (lihat QS. 3 ayat 185) dan  sesuatu yang banyak menggelincirkan umat manusia pada kebinasaan (lihat QS. 46 ayat 20).

Berbeda dengan rezeki, Allah menyebut rezeki itu adalah segala sesuatu yang berdampak panjang. Tidak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat (lihat QS. 65 ayat 11)

Anak yang tampan, cantik, pintar, dan kualitas-kualitas pada umumnya menurut pandangan fisik manusia adalah dunia. Sedangkan anak yang saleh/ah adalah rezeki, bahkan sebaik-baik rezeki dari Allah Swt untuk para orang tua.

Anak yang saleh/ah kelak bisa bermanfaat bagi orang tua hingga di akhirat. Anak yang saleh/ah kelak bisa menjadi penolong bagi kedua orang tua, sehingga orang tua kelak bisa masuk ke dalam surga bersama anak-anaknya yang saleh/ah.

Dalam ayat tersebut berisikan pandangan hidup bahwa sebaik-baik rezeki adalah anak yang saleh.

Dalam ayat selanjutnya –QS. Ash-Shaffāt ayat 102– diceritakan ketika Nabi Ibrahim dikarunia seorang anak, kemudian anak tersebut menginjak usia dewasa Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya, Ismail.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ

Artinya: Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” (QS . Ash-Shaffāt: 102)

Dalam ayat tersebut Allah Swt hendak mengajarkan pada kita bahwa dunia itu adalah ujian yang di dalamnya memiliki empat karakter; adanya rasa sakit, perpisahan, kesedihan, dan kesulitan.

“Selama kita berada di dunia, jangan berharap bahwa kita akan mencapai puncak kebahagiaan, karena dunia hakikatnya adalah ujian yang diberikan oleh Allah Swt, maka pasti di situ ada perpisahan, kesulitan, dan kesedihan. Maka, sebahagia-bahagianya di dunia tidak akan pernah kita mendapatkan puncak kebahagiaan dunia, karena kita masih di dunia. Tempatnya ujian.” Tegas ustaz Nur.

Pandangan hidup yang kedua dari ayat tersebut bahwa dunia adalah ujian. Maka dari itu, kita harus waspada jangan sampai kita menjadi korban selanjutnya dari tipu daya dan muslihat dunia yang sudah berkolaborasi dengan setan yang sudah menjadi karakter baginya memanfaatkan dunia untuk menggelincirkan umat manusia.

Adapun jalan hidup yang diajarkan oleh Allah Swt melalui kisah ini adalah pasrah, tunduk, dan patuh dalam memenuhi segala perintah-Nya. Apapun itu yang diperintahkan. Sebab, Allah Swt ketika mengelola kehidupan ini adalah dengan kasih sayang-Nya bukan dengan kekuasaannya. Ketika Allah Swt memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu, itu bukan karena Allah sang penguasa, tetapi Allah melihat dengan kasih sayang-Nya apa yang diperintahkan itu pasti baik bagi hamba-Nya. Begitu juga dengan larangan-Nya pasti baik untuk kelangsungan dan kebahagiaan hidup hamba-Nya. (Ahmad Farhan)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement