Kamis 21 Jul 2022 09:31 WIB

Emmanuel Macron: Permukiman Israel Langgar Hukum Internasional

Perlu ada upaya untuk meredakan ketegangan yang merusak kehidupan warga Palestina

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Foto: AP/Ludovic Marin/AFP POOL
Presiden Prancis Emmanuel Macron.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Presiden Prancis Emmanuel Macron menerima kunjungan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Paris, Rabu (20/7/2022). Isu terkait konflik Israel-Palestina menjadi topik utama pembicaraan mereka. Macron menyoroti tentang proyek permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina yang dipandangnya melanggar hukum internasional.

Macron mengungkapkan, kunjungan Abbas ke Prancis terjadi saat situasi di Yerusalem dan wilayah Palestina lebih mengkhawatirkan dari sebelumnya. Dia menyebut perlu ada upaya untuk meredakan ketegangan yang merusak kehidupan warga Palestina, pun Israel.

Baca Juga

“Kita harus bergerak dan bekerja untuk mengatasi alasan politik mendalam yang menyebabkan gangguan ini, dengan mengakhiri tindakan sepihak, terutama yang berkaitan dengan kebijakan permukiman dan penyitaan properti warga Palestina yang bertentangan dengan hukum internasional,” kata Macron, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.

Dia menilai, hal itu perlu dilakukan guna mewujudkan dua negara yang hidup berdampingan dalam perdamaian dan keamanan. Macron pun menegaskan komitmen Prancis untuk membantu proses penyelesaian konflik Israel-Palestina.

“Kami akan bekerja dengan semua pihak untuk membuka cakrawala politik yang kredibel. Kami siap melanjutkan proses ini serta memobilisasi komunitas internasional untuk menemukan solusi yang akan mengarah menuju perdamaian yang adil dan permanen," ucapnya.

Sementara itu, Mahmoud Abbas mengapresiasi posisi Prancis yang mendukung penyelesaian konflik Israel-Palestina. Abbas mengandalkan peran Macron untuk meluncurkan inisiatif dengan tujuan memajukan upaya perdamaian di Timur Tengah. Abbas pun berharap Macron bisa melibatkan negara Eropa dan Arab yang memiliki perhatian serupa.

Pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan tentang risiko hilangnya kesempatan penerapan solusi dua negara untuk akhiri konflik Israel-Palestina. Hal itu disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyampaikan bahwa prospek terwujudnya solusi dua negara tampaknya masih jauh.

“Kami telah mengeluarkan peringatan ini (risiko hilangnya kesempatan penerapan solusi dua negara) beberapa kali. Kami berharap para pemimpin dunia bertindak sesuai dengan ini,” ungkap juru bicara Antonio Guterres, Farhan Haq, dikutip laman Anadolu Agency, Sabtu (16/7/2022).

Haq mengungkapkan, PBB terus memberi tekanan untuk penerapan solusi dua negara guna menyudahi konflik Israel-Palestina. Dia memperingatkan, minimnya solusi akan menciptakan lebih banyak masalah di lapangan.

Pada Jumat (15/7/2022) lalu, Joe Biden mengunjungi Tepi Barat dan bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Betlehem. Dalam pertemuan itu, Biden tak menawarkan alternatif solusi baru dari AS untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. Sebaliknya, Biden justru menyampaikan bahwa solusi dua negara “tampaknya masih jauh”.

"Saya tahu tujuan dua negara tampaknya sangat jauh, sementara penghinaan seperti pembatasan pergerakan dan perjalanan atau kekhawatiran sehari-hari akan keselamatan anak-anak Anda adalah nyata dan mendesak. Orang-orang Palestina terluka sekarang. Anda bisa merasakannya. Pasti ada cakrawala politik,” kata Biden.

Kendati demikian, Biden menekankan, pemerintahannya akan tetap dan terus mencoba kembali merekatkan Israel-Palestina. Pembicaraan damai antara Israel dan Palestina yang dimediasi atau disponsori AS telah berakhir pada 2014. Hal itu disebabkan keengganan Israel menghentikan pembangunan permukiman ilegal dan membebaskan warga Palestina yang dipenjara sebelum 1993.

Pada Desember 2017, Palestina memutuskan mundur dari upaya pelanjutan negosiasi damai dengan Israel yang dimediasi AS. Keputusan itu diambil setelah mantan presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Negeri Paman Sam menjadi negara pertama di dunia yang memberi pengakuan demikian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement