Selasa 26 Jul 2022 08:05 WIB

Kepulangan Jamaah Haji yang Diwaspadai Pemerintah

Seluruh jamaah haji diperiksa antigen Covid-19.

Tenaga kesehatan melakukan tes usap antigen kepada Jamaah haji kloter satu Debarkasi Solo saat tiba di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (16/7/2022) dini hari. Sebanyak 360 jamaah haji yang terdiri dari 358 jamaah haji kloter satu dan mutasi dua jamaah haji kloter dua selamat kembali ke tanah air. Asrama Haji Donohudan melakukan pemantauan suhu tubuh dan tes acak antigen untuk jamaah haji saat datang untuk mengantisipasi penularan Covid-19.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Tenaga kesehatan melakukan tes usap antigen kepada Jamaah haji kloter satu Debarkasi Solo saat tiba di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, Sabtu (16/7/2022) dini hari. Sebanyak 360 jamaah haji yang terdiri dari 358 jamaah haji kloter satu dan mutasi dua jamaah haji kloter dua selamat kembali ke tanah air. Asrama Haji Donohudan melakukan pemantauan suhu tubuh dan tes acak antigen untuk jamaah haji saat datang untuk mengantisipasi penularan Covid-19.

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Entah varian apa dan keberapa yang dituding sebagai penyebab kali ini. Faktanya, kini ada lonjakan kasus Covid-19 lagi di Tanah Air. Kalau tidak salah gelombang keempat. Selasa (19/7) kemarin, kasus harian yang terkonfirmasi positif sudah lebih dari 5.000 orang. Kalau pun tidak was-was, pemerintah pasti mulai sibuk mengantisipasi.

Mayoritas kasus positif saat ini masih didominasi varian BA.4 dan BA.5. Ini katanya subvarian Omicron. Tetapi, sudah ada ‘barang’ baru masuk Indonesia, yakni BA.2.57. Sudah ada tiga orang yang positif terkonfirmasi subvarian ini. Konon ini juga masih subvarian Omicron. Intinya, tiga subvarian itu diklaim lebih menular dan bisa menembus pertahanan vaksin Covid-19 dibandingkan ‘pendahulunya’.

Bukan soal sifat varian virus tersebut yang ingin saya highlight. Tetapi, tren peningkatan jumlah kasus positif di Tanah Air dalam kurun setidaknya sepekan terakhir yang perlu kita lihat. Puncak dari gelombang yang semula diprediksi akhir Juli 2022, diyakini mundur. Selain karena subvarian baru, adalah kepulangan jamaah haji yang menjadi kewaspadaan.

Per Selasa (20/7), Kementerian Agama (Kemenag) melaporkan sebanyak 11.588 orang jamaah haji reguler dan 1.759 orang haji khusus telah tiba di Indonesia. Artinya, sudah ada 13.347 orang jamaah haji yang sudah tiba di Tanah Air. Tetapi jumlah itu kurang lebih masih seperdelapan dari total jamaah yang berangkat ke Tanah Suci tahun ini yang berjumlah 100 ribu orang. Banyak yang masih di Saudi menunggu antrean pulang.

Persoalannya, dari seperdelapan yang sudah tiba itu, terdeteksi 13 orang positif Covid-19. Memang jumlah itu relatif sedikit dari 13-an ribu jamaah yang sudah tiba. Hanya 0,1 persen. Tetapi yang perlu dicatat, pemerintah tidak mengetes semua jamaah yang datang, setidaknya sampai Selasa kemarin. Pemerintah hanya melakukan tes antigen secara acak terhadap 10 persen jamaah yang tiba.

Jika kita simulasikan perhitungannya, 10 persen dari 13 ribu yakni sebanyak 1.300 jamaah yang dites. Anggap aturan itu dilaksanakan di lapangan dengan presisi. Artinya, 13 dari 1.300 jamaah yang dites terkonfirmasi positif Covid-19. Berarti, positivity rate ketemu 1 persen. Relatif tidak besar. Tapi kita tak bisa menafikkan adanya ancaman mengingat sebagian besar jamaah belum pulang.

Inilah yang membuat Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin merevisi prediksinya. Dari semula yang diperkirakan puncak gelombang Covid-19 pada akhir Juli, sangat mungkin akan mundur. Kepulangan jamaah haji terakhir dijadwalkan pada 13 Agustus 2022. Menurut Menkes, kepulangan jamaah bisa memicu lonjakan kasus.

Pertanyaannya adalah, mengapa tidak semua dites PCR, atau setidaknya antigen? Bukankah protokol kesehatan, dalam hal ini tes Covid-19, anggarannya dibahas pemerintah dan DPR dalam menentukan biaya haji, bahkan sampai berapa kali tes yang harus dilakukan untuk jamaah? Mengapa pula metode yang digunakan sekadar acak sebanyak 10 persen dari jamaah yang tiba?

Ketika saya menulis sampai paragraf ini Rabu siang, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu ternyata mengeluarkan surat baru Nomor SR.03.04/C/3515/2022. Surat ini perihal ‘Perubahan Ketentuan Tambahan bagi Pengawasan Kedatangan Jamaah Haji’ tertanggal 20 Juli 2022.

“Sebagaimana arahan Bapak Menteri Kesehatan Republik Indonesia, maka ketentuan pemeriksaan skrining antigen Covid-19 yang semula secara acak dilakukan terhadap 10 persen dari jumlah jamaah haji setiap kloter, menjadi dilakukan terhadap seluruh jamaah haji yang kembali ke Indonesia,” begitu bunyi surat tersebut.

Selain itu, para jamaah haji dibekali dengan Kartu Kewaspadaan Kesehatan Jamaah Haji (K3JH). Selama 21 hari masa pemantauan, apabila terdapat demam atau gejala sakit lainnya maka jamaah yang sakit segera ke puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat dengan membawa K3JH.

Saya menjadi salah satu penganut ‘mahzab’ lebih baik terlambat daripada tidak dilakukan. Kita perlu mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan Covid-19 ini. Kita anggap semua itu bagian dari ikhtiar. Tak ada yang salah.

Tetapi yang perlu diingat, lonjakan Covid-19 tak pernah terjadi dengan sebab tunggal. Potensi jamaah haji tertular di Tanah Suci memang cukup besar. Aktivitas jamaah yang mengharuskan bersinggungan dengan banyak orang tak bisa terhindarkan.

Di lain sisi jangan pernah lupa, kasus Covid-19 di dalam negeri kita juga terus menunjukkan peningkatan. Kita tak lagi perlu berdebat penyebabnya. Narasi negara sebagai upaya pencegahan juga pasti akan berulang. Toh negara tak akan mau lagi melakukan pembatasan. Tren positif pemulihan ekonomi saat ini tak mungkin dikorbankan, bukan? Semuanya sudah tahu itu.

Yang barangkali kurang diamplifikasi adalah, dari lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi, angka kematian relatif rendah. Dalam sebulan terakhir saat mulai terjadi tren kenaikan, kematian harian hampir tak pernah berada di angka dua digit. Hanya pada Rabu (13/7) kematian tercatat 12 orang. Kemudian Ahad (17/7) dan Senin (18/7) masing-masing 10 orang. Selebihnya angka kematian harian selalu berada di bawah 10 orang.

Tak hanya penyebab penularan yang ada beragam. Angka kesembuhan yang tinggi dan kematian yang relatif rendah juga tak mungkin satu penyebabnya. Bukan hanya mutasi kemudian virus jadi melemah, tidak pula hanya karena vaksin. Sangat mungkin optimisme individu yang kini lebih tinggi untuk sembuh dibandingkan saat varian Delta dulu juga menjadi faktornya. Teorinya jelas, yang bisa memakan virus di tubuh hanya antibodi. Jika tubuhnya prima atau imunitasnya tinggi, insya Allah kemungkinan sembuh juga besar. Semua itu memberi kontribusi kesembuhan dalam melawan Covid-19. Hanya saja, dari beberapa kemungkinan itu, kita tak pernah tahu, yang mana yang paling besar ‘sumbangsihnya’.

Semoga jamaah haji yang pulang dari Tanah Suci diberi kesehatan dan mendapat predikat mabrur. Semoga pula kita berkesempatan menunaikan rukun Islam kelima tahun depan atau tahun-tahun setelahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement