Kamis 04 Aug 2022 05:42 WIB

Dari Seminar Pesantren NU DKI Jakarta: Pseudo Pesantren Harus Dilawan

Terminologi pseudo pesantren perlu diperbicangkan di kalangan Nahdliyin.

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan Rabithah Maahid Islamiyyah (RMI) atau Asosiasi Pesantren NU  DKI Jakarta menggelar seminar Pseudo Pesantren: Definisi, Otentifiksi dan Validasi Pesantren di Aula Kantor PWNU DKI Jakarta, Rabu (3/8/2022).
Foto: Dok NU
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan Rabithah Maahid Islamiyyah (RMI) atau Asosiasi Pesantren NU DKI Jakarta menggelar seminar Pseudo Pesantren: Definisi, Otentifiksi dan Validasi Pesantren di Aula Kantor PWNU DKI Jakarta, Rabu (3/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--  Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta dan Rabithah Ma’ahid Islamiyyah (RMI) atau Asosiasi Pesantren NU  DKI Jakarta menyelenggarakan seminar Pseudo Pesantren: Definisi, Otentifiksi dan Validasi Pesantren pada Rabu, (3/8/2022) di Aula Kantor PWNU DKI Jakarta.

Kegiatan itu dibuka oleh Ketua PWNU Jakarta KH  Samsul Ma’arif MA dengan pengantar KH Taufik Damas Lc  dan narasumber Dr KH Basnang Said SAg MAg (Kasubrektorat Pendidikan Pesantren Kemenag RI), KH Abdul Ghaffar Rozin MEd (ketua Majelis Masyayikh),  Dr KH Fuad Thohari (PWNU DKI Jakarta), KH Jamaluddin F Hasyim  SHI MH, dan KH Rakhmad Zailani Kiki  (ketua PW RMI-NU DKI Jakarta). 

 “Istilah pseudo pesantren dicetuskan untuk mengisi kekosangan istilah yang selama ini membuat nama pesantren menjadi tercermar dan untuk mencegah terjadinya asosiasi negatif dari arti pesantren. Pesantren yang merupakan tempat pembinaan moral, benteng moral dan sebagai tempat pembinaan paham Islam yang moderat, toleran, berpegang teguh kepada Pancasila dan bagian dari penjaga keutuhan NKRI malah menjadi bergeser ke makna negatif, yaitu sebagai tempat melakukan tindakan asusila, kekerasan seksual dan tindakan melawan hukum lainnya;  juga menjadi tempat untuk mengajarkan paham keislaman yang sesat, intoleran, tempat kaderisasi teroris yang anti Pancasila serta anti NKRI,”  ujar Ketua PW RMI-NU Jakarta yang sekaligus penanggung jawab acara, KH Rakhmad Zailani Kiki yang akrab disapa Ustadz Kiki dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (3/8/2022).

Sedangkan KH  Taufik Damas, Lc. dalam pengantar seminar mengatakan bahwa bagi NU yang mewadahi pondok pesantren yang ada di Indonesia maka permasalahan yang mencoreng dunia pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren,  perlu disikapi dengan arif dan bijaksana. Menurut KH Taufik Damas,  perlu dibuat standardisasi pesantren agar pesantren tersebut dapat melahirkan santri yang muttafaqqih fiddin. “Perlu dirumuskan mana pesantren yang dijamin keasliannya dan mana pesantren yang pseudo!” tegasnya.

Dalam sambutannya, Ketua PWNU DKI Jakarta, Dr  KH Samsul Ma’arif  MA menyatakan bahwa  terminologi pseudo pesantren yang dimunculkan oleh Ketua PW  RMI-NU DKI  Jakarta,  KH Rakhmad Zailani Kiki perlu diperbicangkan di kalangan Nahdliyin karena NU adalah basisnya pesantren dan lahirnya tokoh NU tidak lepas dari pesantren.

“Seperti ungkapan KH  Mustofa Bisri ‘NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil’ maka bahasan pesantren harus terus didiskusikan untuk perkembangannya, apalagi adanya kasus-kasus yang mencemari nama pesantren,” ungkap KH Samsul Ma`arif.

Dr  KH Basnang SAid  SAg MAg sebagai kepala Subdirektorat Pendidikan Pesantren Kementerian Agama RI menyampaikan materi berjudul NU dan Jejaring Pesantren.  "Materi saya ini berisikan hal-hal yang bertalian dengan NU dan jejaring pesantren. Adanya seminar pseudo pesantren hari ini bertujuan untuk memperkuat gerakan pengurus agar lebih solid dan komunikatif. Serta melahirkan kader-kader NU dan pengurus yang mengutamakan kepentingan lembaga atau pesantren, menyadari bahwa konsolidasi antar pengurus sangatlah penting, serta melakukan komunikasi secara aktif ke pesantren-pesantren dan menguasai anatomi sanad keilmuan pesantren yang berada dalam naungan cabang NU (Nahdlatul Ulama),"  ujar KH Basnang Said.

Sedangkan KH Abdul Ghaffar Rozin  MEd atau akrab disapa Gus Rozin, ketua Majelis Masyayikh, yang menyampaikan materinya secara daring melalui Zoom meetings menyatakan bahwa maraknya pseudo pesantren beriringan dengan penetapan UU No. 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren. Sebelum adanya UU Pesantren, jumlah pesantren di Indonesia sekitar 28 ribuan, namun setelah ada UU Pesantren jumlah pesantren naik menjadi 37 ribuan. Kenaikan ini disinyalir karena adanya pesantren-pesantren yang didirikan hanya untuk mendapatkan fasilitas dari negara untuk pesantren sebagai konsekuensi dari pelaksanaan UU Pesantren tersebut sehingga pesantren-pesantren ini sebenarnya tidak memenuhi syarat dan rawan teradi penyimpangan. “Maka, pseudo pesantren harus dilawan!” ujar Gus Rozin.

Menurut Gus Rozin, cara melawan pseudo pesantren adalah dengan berpikir melompati kekhasan pesantren, melakukan kampanye publik dan countering terhadap stigma pesantren, melawan dengan melukis prestasi dan memberikan bukti harapan publik terhadap pesantren dapat terpenuhi, meningkatan mutu pesantren, dan menguatkan jaringan untuk konsolidasi pesantren-pesantren asli.

Adapun Dr KH Fuad Thohari dalam penyampaiannya menekankan agar rukun pesantren harus benar-benar diperhatian bagi setiap orang tua jika ingin memasukkan anaknya ke pondok pesantren. 

Sedangkan sebagai narasmuber terakhir, KH Jamaluddin F Hasyim menyatakan bahwa pesantren yang benar itu yang kyainya dan pesantrennya sama-sama dikenal masyarakat. Namun saat ini, marak pesanten yang masyarakat hanya mengenal pesantrennya, tetapi tidak mengenal kyainya atau pimpinan pesantrennya. Selain itu, KH dia juga mengkritisi tentang UU Pesantren yang masih memiliki kelemahan yang fatal, yaitu tidak adanya pasal-pasal tentang sanksi untuk pesantren-pesantren yang melanggar UU Pesantren sehingga tidak memiliki kekuatan untuk memberikan hukuman, hal ini perlu dijadikan pemikiran untuk menyempurnakan UU Pesantren tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement