Kamis 04 Aug 2022 19:47 WIB

Arab Saudi: Bahaya Penyebaran Senjata Nuklir Ancam Timur Tengah

Arab Saudi menekankan perlunya menghadapi proliferasi nuklir.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Muhammad Hafil
 Dia menekankan perlunya menghadapi proliferasi nuklir. Foto:  Ilustrasi Bom Nuklir
Foto: Foto : MgRol112
Dia menekankan perlunya menghadapi proliferasi nuklir. Foto: Ilustrasi Bom Nuklir

IHRAM.CO.ID,WASHINGTON – Arab Saudi menilai bahaya penyebaran senjata nuklir mengancam Timur Tengah. Terkait hal itu, ia secara khusus menyoroti non-aksesi Israel dalam Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir serta aktivitas nuklir Iran.

“Bahaya penyebaran senjata nuklir mengancam Timur Tengah dan dunia,” kata Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Dr. Abdulaziz bin Mohamed Al-Wasel, dikutip laman Middle East Monitor, Kamis (4/8/2022).

Baca Juga

Dia menekankan perlunya menghadapi proliferasi nuklir di Timur Tengah. Al-Wasel berpendapat, tak bergabungnya Israel dalam Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir memperkuat risiko proliferasi nuklir.

Bahaya proliferasi nuklir juga ditimbulkan Iran. “Kurangnya transparansi Iran dengan IAEA (Badan Energi Atom Internasional) melanggar Piagam PBB,” ucap Al-Wasel.

Ia menegaskan, membersihkan Timur Tengah dari senjata nuklir adalah tanggung jawab bersama. Arab Saudi, kata Al-Wasel, mendukung perluasan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir.

Bulan lalu, Kepala Dewan Strategis Iran untuk Hubungan Luar Negeri Kamal Kharrazi telah mengakui bahwa negaranya mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan membuat bom nuklir. Namun dia menyebut, Iran belum memutuskan apakah akan mengambil langkah tersebut.

"Dalam beberapa hari kami dapat memperkaya uranium hingga 60 persen dan kami dapat dengan mudah menghasilkan 90 persen uranium yang diperkaya. Iran memiliki sarana teknis untuk memproduksi bom nuklir, tapi belum ada keputusan oleh Iran untuk membuatnya," kata Kharrazi saat diwawancara Aljazeera, 17 Juli lalu.

Dalam wawancara tersebut, Kharrazi turut menegaskan bahwa Iran tidak akan menegosiasikan program rudal balistiknya dan kebijakan regional mereka. Hal itu menjadi sinyal bahwa Teheran menolak tuntutan Barat dan sekutunya di Timur Tengah.

Saat ini Iran memang tak lagi tunduk pada kesepakatan nuklir 2015 atau dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan itu melibatkan Iran dengan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Uni Eropa. Dalam JCPOA, Iran diharuskan mengekang program pengayaan uraniumnya yang dapat mengantarkannya mengembangkan senjata nuklir. Imbalannya, Barat akan melepaskan sanksi ekonomi terhadap Teheran.

Iran selalu menyatakan bahwa mereka tak mempunyai niatan untuk membuat senjata nuklir. Pada 2018, mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan menarik negaranya dari JCPOA. Trump beralasan, JCPOA “cacat” karena tak turut mengatur program rudal balistik Iran dan pengaruhnya di kawasan. Setelah menarik AS, Trump memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran.

Hal itu akhirnya membuat Iran tak lagi tunduk pada JCPOA. Mereka mulai melakukan pengayaan uranium. IAEA telah melaporkan bahwa cadangan uranium yang diperkaya Iran meningkat 18 kali lipat dari batas ketentuan dalam JCPOA. Saat ini AS, di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, berusaha memulihkan kembali JCPOA. Namun pembicaraan tak langsung antara kedua negara tersebut telah terhenti sejak Maret lalu. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement