Oleh : HD Iriyanto*
IHRAM.CO.ID, Salam Metamorfosa, Salam Perubahan…
Selama ini kita selalu berpikir tentang keseimbangan. Seimbang antara bekerja dan urusan keluarga. Seimbang antara pemenuhan pribadi dan pemenuhan sosial kemasyarakatan. Juga seimbang antara urusan bisnis dan urusan pengabdian. Seolah-olah keseimbangan inilah penentu sebuah keberhasilan. Ketidakseimbanganlah yang dianggap sebagai biangnya derita dan ketidakharmonisan.
Jika keseimbangan diartikan sebagai kekuatan yang sama pada arah yang berlawanan, maka keseimbangan itu bisa melahirkan stagnasi alias kemandekan. Coba Anda bayangkan lomba tarik tambang. Jika dua pihak yang berlomba punya kekuatan yang sama, maka tidak akan terjadi pergerakan. Ada pihak yang akhirnya menang, karena mereka punya kekuatan yang tidak sama dengan tim yang kalah.
Para pembaca yang siap berubah menjadi lebih baik…
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, keseimbangan menyerupai fatamorgana. Kelihatan ada kendati sesungguhnya tidak ada. Sebab keseimbangan identik dengan kesempurnaan. Padahal dalam kehidupan ini tidak pernah ada kesempurnaan yang dilakukan manusia. Karena pemilik sesungguhnya dari kesempurnaan adalah Allah SWT.
Orang-orang yang telah berhasil dalam berbagai profesi ternyata orang-orang yang mampu menjalani dan memanfaatkan ketidakseimbangan dengan tepat. Seorang atlet yang mampu meraih prestasi puncak ternyata adalah atlet yang siap menambah porsi latihan dan uji coba. Artinya waktu, tenaga, pikiran, dan biaya untuk melakukan aktivitas lainnya dikurangi, agar bisa dipakai untuk menambah porsi latihan dan uji cobanya.
Demikian pula seorang pemasar atau penjual. Agar bisa mencapai target yang telah diketok sebelumnya, ia harus menambah aktivitas presentasi dan interaksi dengan calon pelanggannya. Ini berarti ada urusan, kepentingan, atau kegiatan lain yang ‘dikorbankan’ demi tercukupinya jatah presentasi dan interaksi tersebut.
Dengan contoh di atas, bisa kita pahami bahwa sesungguhnya ketidakseimbangan bukanlah sebuah kekurangan. Apalagi keburukan. Sama sekali bukan. Ketidakseimbangan justru merupakan keniscayaan. Sesuatu yang mesti terjadi secara alamiah.
Agar ketidakseimbangan ini menjadi sumber daya yang menguntungkan, maka perlu kita jalani dan manfaatkan dengan dua rumusan berikut ini.
Pertama, ketidakseimbangan ini mesti diawali karena adanya skala prioritas. Yakni urutan kepentingan yang bisa mendukung tercapainya sebuah keberhasilan. Kalau kita ambil contoh atlet, maka ketidakseimbangan itu terjadi karena adanya skala prioritas berupa latihan dan uji coba. Skala prioritas ini diambil karena secara langsung bisa mendukung tercapainya keberhasilan dia meraih gelar juara.
Oleh sebab itu, jangan sampai ketidakseimbangan itu muncul karena adanya urusan yang tidak jelas. Semisal, mengirim atau menerima pesan media sosial yang isinya remeh-temeh atau tidak mendatangkan manfaat atau benefit yang nyata. Kendati ini justru yang amat sering terjadi dalam keseharian kehidupan masyarakat.
Kedua, ketidakseimbangan ini harus disertai penerimaan dan pengorbanan. Penerimaan ini terkait dengan konsekuensi yang bakal kita terima. Seperti, agenda bermain si atlet menjadi berkurang, karena harus menambah porsi latihan dan uji coba. Sedangkan pengorbanan ini terkait dengan kerelaan mengeluarkan tambahan waktu, pikiran, tenaga, dan biaya. Tanpa penerimaan dan pengorbanan, sebuah ketidakseimbangan hanya akan mengguncangkan jiwa.
Dengan paparan di atas, maka kita tidak perlu risau jika dalam menjalani kehidupan ini kita tidak bisa melakukan banyak hal secara seimbang. Karena yang realistis sesungguhnya adalah ketidakseimbangan. Atau lebih tepatnya, ketidakseimbangan yang dijalani dengan fokusitas yang tinggi. Bukankah demikian adanya? Keep spirit & change your life.
*www.bangunkarakterbangsa.com (Inspirator Metamorphosis; Dosen Universitas AMIKOM Yogyakarta)