Jumat 02 Sep 2022 03:31 WIB

Penyelesaian Sengketa Maritim Israel-Lebanon Jadi Prioritas Pemerintahan Joe Biden 

AS berusaha menengahi kesepakatan antara Israel-Lebanon selama bertahun-tahun.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Pemandangan umum desa perbatasan Lebanon-Israel di Yaroun, Lebanon selatan, Sabtu, 13 Agustus 2022, tempat orang tua Hadi Matar beremigrasi. Pada hari Jumat, Matar, 24, lahir di Fairview, N.J., menyerang penulis Salman Rushdie selama kuliah di New York. Kelahirannya adalah satu dekade setelah
Foto: AP Photo/Mohammed Zaatari
Pemandangan umum desa perbatasan Lebanon-Israel di Yaroun, Lebanon selatan, Sabtu, 13 Agustus 2022, tempat orang tua Hadi Matar beremigrasi. Pada hari Jumat, Matar, 24, lahir di Fairview, N.J., menyerang penulis Salman Rushdie selama kuliah di New York. Kelahirannya adalah satu dekade setelah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penyelesaian sengketa perbatasan maritim menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Washington telah berusaha menengahi kesepakatan antara kedua negara tersebut selama bertahun-tahun.

“Menyelesaikan sengketa batas laut adalah prioritas utama bagi pemerintahan Biden. Kami sangat yakin, kesepakatan memiliki potensi untuk mempromosikan stabilitas yang langgeng dan kemakmuran ekonomi bagi kedua negara,” ungkap seorang pejabat AS saat diwawancara Al Arabiya, Rabu (31/8/2022).

Baca Juga

Saat menghubungi Biden pada Rabu lalu, Perdana Menteri Israel Yair Lapid turut membahas masalah tersebut. “Presiden (Biden) juga menekankan pentingnya menyelesaikan negosiasi batas maritim antara Israel dan Lebanon dalam beberapa pekan mendatang,” kata Lapid.

Selama beberapa bulan terakhir, koordinator khusus AS untuk penyelesaian sengketa maritim Israel-Lebanon, Amos Hochstein, telah melakukan serangkaian kunjungan ke Beirut dan Tel Aviv. Namun dalam beberapa pekan terakhir, kelompok militan Hizbullah yang didukung Iran telah mengancam akan memerangi Israel jika tuntutan Lebanon tidak dikabulkan.

Pekan lalu Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz telah melayangkan peringatan ke kelompok Hizbullah Lebanon untuk tidak menyerang aset gas milik negaranya. Dia menegaskan, tindakan semacam itu akan memicu perang. Kendati demikian, Israel, kata Gantz, tetap siap menghadapi skenario itu.

Dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Israel, 103 FM, pada Senin (22/8/2022), Gantz ditanya apakah serangan apa pun oleh Hizbullah terhadap ladang gas Israel dapat memantik peperangan. “Ya, itu bisa memicu reaksi,” jawab Gantz, seperti dilaporkan laman Al Arabiya.

Menurut dia, serangan Hizbullah ke aset gas Israel dapat memicu beberapa hari pertempuran dan kampanye militer. “Kami kuat dan siap untuk skenario ini, tetapi kami tidak menginginkannya,” ujar Gantz.

Pernyataan Gantz muncul saat Israel dan Lebanon sedang terlibat dalam negosiasi alot terkait persengketaan perbatasan laut kedua negara. Pada Juni lalu, ketegangan sempat meningkat setelah kapal produksi yang disewa Israel tiba di dekat ladang gas lepas pantai Karish. Lebanon turut mengklaim wilayah tersebut.

Pada 2 Juli lalu, Israel mengatakan, mereka telah menembak jatuh tiga pesawat nirawak yang diluncurkan Hizbullah ke arah Karish. Kemudian 9 Agustus lalu, Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, menyatakan bahwa “tangan yang meraih kekayaan ini akan terputus”. Pernyataan itu dianggap merupakan pesan atau peringatan tersirat terhadap Israel.

Israel dan Lebanon terakhir kali terlibat dalam konflik terbuka pada 2006. Kedua negara secara resmi tetap berperang, dengan penjaga perdamaian PBB berpatroli di perbatasan darat. Pada 2020, Israel dan Lebanon melanjutkan negosiasi terkait sengketa perbatasan maritim. Pembicaraan sempat terhenti, tapi dihidupkan kembali pada Juni tahun itu.

Diskusi awal berfokus pada area yang disengketakan seluas 860 kilometer persegi (332 mil persegi), sesuai dengan klaim Lebanon yang terdaftar di PBB pada tahun 2011. Beirut kemudian meminta daerah itu diperluas lagi seluas 1.430 kilometer persegi, yang mencakup bagian dari ladang gas Karish. Menurut Israel, Karish berada dalam zona ekonomi eksklusifnya yang diakui oleh PBB. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement