Sabtu 03 Sep 2022 06:47 WIB

Kisah Penamaan NU, Awalnya Bukan Nahdlatul Ulama

Nama NU saat ini berarti kebangkitan para ulama.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Kisah Penamaan NU, Awalnya Bukan Nahdlatul Ulama. Foto: Logo NU
Foto: tangkapan layar wikipedia
Kisah Penamaan NU, Awalnya Bukan Nahdlatul Ulama. Foto: Logo NU

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 di Surabaya. Sebelum tanggal bersejarah itu, KH Hasyim Asy’ari mengundang berbagai alim ulama untuk mengutarakan pendapatnya terkait nama organisasi yang akan didirikan.

Para kiai pada saat itu mengusulkan beberapa nama yang dirasa pas untuk organisasi tersebut. Di antara usulan nama yang diajukan adalah Nuhudlul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Namun, pada akhirnya para ulama NU memutuskan untuk menggunakan nama Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan para ulama.

Baca Juga

Lalu, mengapa para ulama NU tidak menggunakan nama Nuhudlul Ulama?

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftah Faqih mengungkapkan alasan mengapa para ulama NU tidak menggunakan nama Nuhudlul Ulama. Hal ini disampaikan Kiai Miftah saat membuka kegiatan Rapat Kerja (Raker) Lakpesdam PBNU yang digelar secara daring dan luring di Jakarta Pusat pada Jumat (2/9/2022) malam.

Kiai Miftah menjelaskan, NU hadir berangkat dari kesadaran terhadap tantangan dan keprihatinan terhadap realitas pada saat itu. Menurut dia, NU hadir bukan berangkat dari ruang kosong, tapi berangkat dari kesadaran bahwa ada tanggung jawab keagamaan melalui ulama untuk menemukan solusi-solusi yang kreatif dan produktif bagi zamannya.

Menurut Kiai Miftah, kesadaran tersebut tidak hanya berangkat dari orang per orang, tapi pada akhirnya kesadaran untuk pihak lain bagaimana menghadirkan kemaslahatan. Menurut dia, hal ini dapat dilihat saat para ulama generasi awal memberikan nama Nahdlatul Ulama.

Kiai Miftah mengatakan, saat itu hampir saja para ulama memilih nama kebangkitan dalam pengertian Nuhudlul Ulama. "Namun, ada seseorang yang sangat ahli dalam pengertian gerakan untuk menyampaikan usulan kalau Nuhudlul Ulama, maka para kiai tidak ada dalam ruangan ini, di tempat ini. Karena kalau Nuhudlul Ulama, bangkit ya cukup untuk dirinya sendiri, cukup di rumah, ngaji, membesarkan pesantren, itu juga masuk kategori bangkit," jelas Kiai Miftah.

Lalu, menurut Kiai Miftah, akhirnya seseorang yang sangat ahli itu mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Karena, nama ini memiliki arti bangkit bersama-sama. "Nahdlatul Ulama ini bangkit dan bergerak, dan bergeraknya tidak sendiri-sendiri tapi bergerak bersama. Maka ada haraqahnya (Gerakannya). Haraqah tidak bisa sendirian, tapi harqah itu harus bersama yang lain. Maka disepakatilah nama organisasi ini menjadi Nahdlatul Ulama," kata Kiai Miftah. 

"Pengusul itu adalah Sayyid Alwi bin Abdul Azis, yang demi memepertahankan atau memegang prinsip, dirinya harus rela untuk dicoret dari keluarga besarnya bahkan untuk dimakamkan saja tidak diberikan hak untuk dimakamkan di keluarga besarnya," ucap Kiai Miftah.

Karena itu, tambah dia, tak heran jika makam Kiai Mas Alwi kemudian ditemukan di belakang sebuah perkampungan, bukan di komplek makam Sunan Ampel. Padahal, menurut Kiai Miftah, sebenarnya Kiai Mas Alwi masih termasuk keluarga Sunan Ampel. 

Nama lengkapnya adalah Sayyid Alwi Abdul Azis az-Zamadghon.

Sang alim lebih akrab dipanggil KH Mas Alwi. Dia adalah ulama NU yang tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Namun, berbagai sumber menyebutkan, ketika NU berdiri pada 1926, Kiai Mas Alwi telah berusia 35 tahun. Maka, dapat diperkirakan bahwa sang habib lahir sekitar 1890-an. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement