Senin 05 Sep 2022 08:17 WIB

Uni Eropa Kutuk Vonis Penjara dan Kerja Paksa pada Suu Kyi

Uni Eropa mengutuk hukuman Aung San Suu Kyi yang tidak dapat dibenarkan

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Uni Eropa mengutuk hukuman penjara dan kerja paksa yang dijatuhkan pengadilan Myanmar kepada mantan pemimpin de facto negara tersebut, Aung San Suu Kyi
Foto: EPA-EFE/HEIN HTET
Uni Eropa mengutuk hukuman penjara dan kerja paksa yang dijatuhkan pengadilan Myanmar kepada mantan pemimpin de facto negara tersebut, Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS – Uni Eropa mengutuk hukuman penjara dan kerja paksa yang dijatuhkan pengadilan Myanmar kepada mantan pemimpin de facto negara tersebut, Aung San Suu Kyi. Perhimpunan Benua Biru mendesak junta Myanmar membebaskan tokoh yang pernah menerima Nobel Perdamaian pada 1991 tersebut.

“Uni Eropa mengutuk hukuman Aung San Suu Kyi yang tidak dapat dibenarkan dengan tambahan tiga tahun penahanan, dengan kerja paksa. Dia sekarang menghadapi 20 tahun penjara dalam sebelas dakwaan dengan beberapa dakwaan tersisa. Uni Eropa meminta rezim di Myanmar untuk membebaskannya dan semua tahanan politik,” kata kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell lewat akun Twitter-nya, Ahad (4/9/2022).

Baca Juga

Pada Jumat (2/9/2022) lalu, pengadilan Naypyitaw, Myanmar, menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun kepada Aung San Suu Kyi. Dia dinyatakan bersalah dalam kasus penipuan pemilu. Sebelumnya Suu Kyi sudah menerima vonis 17 tahun penjara atas beberapa dakwaan yang dilayangkan militer Myanmar.

Selain Suu Kyi, pengadilan Naypyitaw turut menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun kepada mantan presiden Myanmar Win Myint dan mantan menteri kantor kepresidenan Min Thu dalam kasus serupa. Selain penjara tiga tahun, Suu Kyi, Win Myint, dan Min Thu juga akan menjalani hukuman kerja paksa. Pengacara mereka dilaporkan akan mengajukan banding atas vonis tersebut.

Vonis hukuman terbaru yang diterima Suu Kyi turut membawa konsekuensi politik. Partai Suu Kyi, yakni National League for Democracy (NLD), terancam dibubarkan sebelum pemilu yang dijanjikan militer untuk tahun 2023 digelar. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Myanmar Thein Shoe telah menyampaikan, lembaganya akan mempertimbangkan pembubaran NLD. Thein Shoe menuduh NLD telah bekerja secara ilegal dengan pemerintah untuk memperoleh keuntungan sendiri dalam pemilihan.

Namun anggota KPU Myanmar Khin Maung Oo mengungkapkan, pemeriksaan terhadap NLD akan ditunda. Hal itu karena sejumlah pejabat dan petugas NLD telah ditangkap. Sementara yang lainnya masih buron. Dalam penyelidikannya nanti, KPU Myanmar akan turut memeriksa apakah NLD mengelola dan menggunakan dana sesuai peraturan hukum.

Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Selain Suu Kyi, militer Myanmar turut menangkap mantan presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai NLD.

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu yang digelar pada November 2020. Dalam pemilu itu, NLD menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.

Setelah mengambil alih pemerintahan sementara, militer Myanmar melayangkan sejumlah dakwaan terhadap Suu Kyi. Dakwaan tersebut antara lain melakukan kecurangan pemilu, kepemilikan walkie-talkie ilegal, melanggar pembatasan sosial Covid-19, menghasut, dan lima tuduhan korupsi. Atas kasus-kasus tersebut, kecuali kecurangan pemilu, Suu Kyi sudah menerima vonis hukuman 17 tahun penjara.

Saat ini Suu Kyi masih harus menghadapi dakwaan melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi dan tujuh tuduhan korupsi lainnya. Suu Kyi terancam diganjar hukuman maksimal 14 tahun penjara dan 15 tahun penjara untuk masing-masing kasus tersebut.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement