Senin 12 Sep 2022 23:26 WIB

Tekan Laju Inflasi, Sri Mulyani Fokus Selesaikan Gangguan Rantai Pasok Pangan

Sri Mulyani minta kepala daerah telusuri penyebab tekanan harga komoditas

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pedagang cabai melayani pembeli di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan permasalahan gangguan rantai pasok pangan berpotensi menaikkan tingkat inflasi.
Foto: ANTARA/Budi Prasetiyo
Pedagang cabai melayani pembeli di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan permasalahan gangguan rantai pasok pangan berpotensi menaikkan tingkat inflasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berupaya menyelesaikan permasalahan gangguan rantai pasok pangan. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan laju inflasi akibat tekanan harga komoditas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan permasalahan gangguan rantai pasok pangan berpotensi menaikkan tingkat inflasi. 

“Kita akan merespons inflasi yang terutama berasal dari gangguan pasokan,” ujarnya saat webinar Bloomberg Recovery and Resilience, Senin (12/9/2022).

Sri Mulyani meminta gubernur dan walikota agar menelusuri secara detail penyebab tekanan harga komoditas terutama pangan. Hal ini sebagai salah satu upaya menyelesaikan permasalahan gangguan rantai pasokan.

Pada harga energi, kata dia, upaya yang ditempuh pemerintah adalah dengan menyesuaikan harga bahan bakar bersubsidi yakni naik rata-rata sebesar 30 persen. Sri Mulyani tak memungkiri keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi pasti akan meningkatkan inflasi administered price, namun tetap harus dilakukan untuk melepaskan tekanan pada anggaran.

“Jadi kita coba pastikan dulu, kalau isunya dari sisi supply ya kita akan bahas dari sisi supply,” ucapnya.

Bank Indonesia sebagai otoritas dari sisi moneter pun turut menetapkan kebijakan untuk mengelola ekspektasi inflasi serta stabilitas rupiah. Hal ini mengingat Indonesia dan banyak negara sedang menghadapi dolar yang sangat kuat.

Menurutnya depresiasi rupiah sekitar 4,5 persen tahun ini masih relatif moderat dibandingkan banyak negara lain seiring kinerja neraca pembayaran yang cukup baik.

“Neraca perdagangan mengalami surplus selama 27 bulan,” ucapnya.

Meski Indonesia memiliki lebih banyak ketahanan dari sisi eksternal, kata dia, namun situasi global tidak akan mudah dan menjadi jauh lebih rumit dengan potensi kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve.

“Ini akan diikuti oleh potensi resesi dan juga harga energi tetap sangat fluktuatif karena geopolitik,” ucapnya.

Maka itu dia memastikan inflasi akan dikendalikan oleh pemerintah bersama Bank Indonesia. Hal ini melihat detail baik dari sisi kebijakan makro, moneter maupun mengontrol secara langsung di setiap daerah.

“Kerangka kebijakan makroprudensial masih terus dipertahankan, namun tidak akan memadai jadi kita harus turun secara detail ke daerah, komoditas serta ke sumber tekanan harga,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement