Jumat 16 Sep 2022 21:15 WIB

Visa 'Digital Nomad' di Bali Resmi Dikeluarkan, Warga Takut Kebudayaannya 'Terkikis'

Visa 'Digital Nomad' di Bali Resmi Dikeluarkan, Warga Takut Kebudayaannya 'Terkikis'

Red:
Visa 'Digital Nomad' di Bali Resmi Dikeluarkan, Warga Takut Kebudayaannya 'Terkikis'
Visa 'Digital Nomad' di Bali Resmi Dikeluarkan, Warga Takut Kebudayaannya 'Terkikis'

Bali sudah lama dikenal sebagai tempat berlibur bagi warga Australia. Sebagian bahkan bekerja jarak jauh dari sana.

Selama pandemi COVID-19, tidak jarang terlihat warga negara asing yang mengikuti rapat melalui Zoom dari kafe atau sibuk dengan laptopnya di pinggir kolam renang.

Melihat ini, Pemerintah Indonesia memanfaatkan momen untuk menjadikan Bali sebagai pusat 'digital nomad' atau orang-orang yang bisa melakukan pekerjaannya di mana saja karena bantuan teknologi digital.

Setelah bertahun-tahun membahas rencana ini, Pemerintah Indonesia mengumumkan warga asing boleh bekerja secara online hingga enam bulan tanpa membayar pajak dengan menggunakan visa B211 A.

Sementara proposal pemerintah untuk mengeluarkan visa 'digital nomad' jangka panjang, yang umurnya kemungkinan bisa lima tahun, masih didiskusikan.

Namun Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mempertimbangkan hal ini.

Faktanya, menurut laporan terbaru Institut Kebijakan Migrasi, lebih dari 25 negara sudah meluncurkan visa 'digital nomad'.

Penghasilan berkali lipat sejak kerja dari Bali

Putu Sudiarta menyaksikan sendiri meningkatnya minat bekerja dari Bali selama pandemi.

Ia menjalankan bisnis 'co-working space' atau ruang kerja bersama bernama Genesis Creative di Canggu yang kebanyakan pelanggannya adalah warga negara asing.

Tempat tersebut menyediakan studio foto, musik dan film bagi pembuat konten online dan alat rekaman bagi pembuat podcast.

"

"Saat pandemi terjadi, jumlah pelanggan bertambah, karena banyak sekali orang yang mulai bekerja online," katanya.

"

"Selama beberapa tahun terakhir kami sudah menerima 3.000 booking-an."

Canggu adalah salah satu daerah di Bali yang jumlah warga negara asingnya tetap banyak sepanjang pandemi.

Phoebe Greenacre adalah warga Australia yang pindah ke Canggu bersama suaminya lebih dari setahun yang lalu.

Ia menetap di Indonesia menggunakan KITAS.

Kini ia sepenuhnya bekerja online dengan memproduksi podcast meditasi di Genesis dan video yoga untuk penonton di luar negeri.

"Waktu pandemi terjadi, saya langsung tersadar dan berpikir, 'Saya sudah hampir 38 tahun. Apa yang saya inginkan dalam hidup ini?'" ujarnya.

Dalam seminggu, Phoebe hanya bekerja lima sampai 10 jam, namun menurutnya penghasilannya masih lebih banyak dibanding ketika masih bekerja penuh waktu di Australia.

"[Pengalaman] datang ke Bali dan bertemu dengan orang-orang dengan gaya hidup seperti ini menunjukkan bahwa ini adalah sesuatu yang mungkin dilakukan," katanya.

"

"Keseimbangan waktu bekerja dengan kehidupan pribadi di sini bagus sekali."

"

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sandiaga Uno percaya dengan mengubah izin tinggal wisatawan dan memberikan kemudahan bekerja dari Indonesia akan berdampak positif pada perekonomian Bali, di samping membantu menciptakan 4,4 juta pekerjaan baru hingga tahun 2024.

"Dengan visa yang berlaku selama 2 bulan dan dapat diperpanjang selama 6 bulan, saya semakin yakin kalau jumlah wisatawan asing yang tertarik untuk menetap di Indonesia akan meningkat dan otomatis akan berdampak pada kebangkitan ekonomi," katanya.

Terhitung Januari tahun ini, lebih dari 3.000 WNA sudah menggunakan visa B221 A untuk bekerja sebagai 'digital nomad'.

Negara penyumbang pengguna visa terbesar antara lain adalah Rusia, Inggris dan Jerman.

Menurut Sandiaga Uno, Indonesia juga berencana untuk mempromosikan skema terbaru ini ke Australia, Malaysia dan Singapura.

Mengubah Bali dan kebudayaannya

Bisnis penyewaan tempat tinggal di Bali juga turut mengalami keuntungan dari fenomena tersebut.

Tobi Konopka, sorang manajer properti kelahiran Jerman di Canggu, mengatakan semakin banyak orang di Bali mulai menjual lahan atau properti mereka ke 'developer' properti untuk dijadikan villa, namun kebanyakan untuk membangun akomodasi 'digital nomad'.

"Pasar permintaan villa meledak selama lima hingga tujuh tahun terakhir, terutama sebelum COVID," katanya.

Buruknya, Tobi mengatakan sawah dan pemandangan hijau Bali yang ikonik akan cepat menghilang.

"Dua tahun yang lalu ketika kami pindah, ini hanyalah sawah," katanya sambil menunjuk lahan besar di belakang rumahnya sendiri di Canggu.

"Kalau Anda melihat sekeliling, semuanya sudah jadi villa."

Namun menurutnya tidak hanya sawah yang terancam keberadaannya di Bali.

"Kebudayaan Bali dan kepercayaannya serta semua agama yang dianut warganya, yang di Bali sangatlah kuat sudah menghilang sejak villa ini dibangun," ujarnya.

"Tanah suci dan pohon suci pun sudah mulai diganti atau ditebang."

Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh warga Bali sendiri, I Wayan Suarsana misalnya, yang merupakan Bendesa Adat Canggu.

"

"Saya khawatir kebudayaan kita akan terkikis," katanya.

"

"Masyarakat kami sudah sangat terekspos dengan pengaruh luar dan kami khawatir anak-anak kami akan terlepas dari kebudayaannya sendiri."

Namun Wayan mengatakan pembangunan tidak dapat dihindari dan ingin menangani masalah ini dengan menjalankan program kebudayaan mereka.

Petisi memperketat aturan bagi bar malam di Bali

Sekelompok warga Bali menolak kedatangan 'digital nomad', termasuk beberapa di antaranya pemilik hotel di Canggu.

Lebih dari 7.000 orang juga telah menandatangani petisi yang mengeluhkan perilaku tidak hormat dan berisik yang dikaitkan dengan semakin banyaknya bar malam baru yang banyak diminati turis.

Pembuat petisi tersebut meminta agar Pemerintah Bali, juga Presiden Jokowi dan Menparekraf Sandiaga Uno mengambil langkah untuk menjaga warisan kebudayaan setempat.

Selain itu, mereka juga meminta agar sebuah aturan yang melarang keributan di atas jam 10 malam dan denda bagi mereka yang bertindak sewenang-wenang.

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan ABC News dalam bahasa Inggris

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement