Kamis 22 Sep 2022 07:50 WIB

Jejak Pemikiran Ilmuwan Muslim dalam Teori Heliosentris

Mereka semua berperan dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah terkait astronomi.

ilmuwan Muslim
Foto: Anadolu Agency
ilmuwan Muslim

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sejarah peradaban Islam, khususnya dalam masa keemasan, ada banyak ahli ilmu falak. Walaupun berjasa besar, sebagian ilmuwan Muslim itu cenderung terlupakan". Generasi kini tampaknya lebih mengenal nama-nama saintis Barat yang non- Muslim, utamanya mereka yang muncul dari era Renaisans.

Padahal, mereka membuka jalan bagi perkembangan astronomi modern. Ambil contoh, tokoh-tokoh, yakni Abu Ma'syar al-Balkhi (787- 886 M), Ibnu al-Haitsam (965-1040 M), Abu Sa'id al-Sijzi (945-1020 M). Kemudian, ada Mu'ayyaduddin al-Urdi (1200-1266), Nashiruddin al-Thusi (1201-1274 M), Quthbuddin al-Syirazi (1236-1311 M), serta Ibnu Syathir (1304-1375 M). Mereka semua berperan dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah terkait astronomi.Salah satu hasil kajiannya menyasar pada kekeliruan geosentrisme.

Baca Juga

Istilah tersebut merujuk pada pandangan bahwa bumi adalah pusat". Maksudnya, planet tempat manusia berada ini adalah titik-tengah alam semesta dan selalu berada dalam kondisi diam. Adapun planet-planet, matahari, dan benda-benda langit lainnya bergerak me ngitarinya.

Lawan dari geosentrisme merupakan heliosentrisme. Pandangan ini menyatakan, pusat alam semesta adalah matahari (helios). Dengan demikian, benda-benda langit--termasuk bumi-- berputar mengelilinginya.

 

Menilik jauh ke belakang. Mulanya, geosentris me digagas oleh Anaximandros, filsuf Yunani Kuno yang hidup antara 610-546 sebelum Masehi (SM). Menurut dia, bumi yang dianggapnya berbentuk silinder, bukan bola, tidak jatuh karena kedudukannya berada pada pusat alam raya.Pemikiran serupa diikuti Aristoteles (384-322 SM) dan Hipparchus (meninggal 140 SM).

Puncaknya, Klaudius Ptolemaeus (Claudius Ptolemy) pada pertengahan abad kedua Masehi menulis risalah ilmu falak, Mathematike Syntaxis. Buku itu terkenal di Eropa dan Asia barat dengan judul Almagest. Di dalamnya, ilmuwan asal Iskandariah (Mesir) itu mengembangkan teori orbit benda-benda langit dengan bumi sebagai sentranya. Karena itu, gagasan bumi sebagai pusat semesta sering kali dinamakan Model Ptolemy.

Selama 1.400 tahun, geosentrisme diyakini sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan dalam disiplin astronomi. Sekurang-kurangnya, ada dua persepsi yang mendukung argumentasi Ptolemy. Pertama, matahari tampak mengelilingi bumi satu kali per hari. Begitu pula dengan bulan dan planet-planet lainnya yang dapat diamati dari bumi walau masing-masing mereka memiliki garis edar tersendiri. Kedua, bumi dirasakan stabil, tidak bergerak, dan tidak berputar.

Menurut teori Ptolemy, bumi berada statis di pusat semesta. Kemudian, bulan mengelilinginya di orbit yang paling dekat dengan bumi. Di orbit yang paling jauh, bintang-bintang dalam bulatan angkasa yang besar (celestial sphere) berputar mengitari bumi. Adapun planet-planet--namanya berasal dari planetai, `pengembara'--beredar di antara orbit bulan dan celestial sphere. Begitu pula dengan peredaran matahari yang terletak di antara keduanya.

Semua benda langit itu, dalam pemahaman Ptolemy, berkisar mengelilingi bumi di orbit masing-masing. Garis edar Venus dan Merkurius berada di antara orbit bulan dan matahari. Adapun perputaran Mars, Jupiter, dan Saturnus terletak di antara orbit matahari dan celestial sphere.

sumber : Islam Digest
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement