Jumat 23 Sep 2022 13:31 WIB

Khofifah Ajak Perangi Ujaran Kebencian dan Perundungan

Yang perlu dikhawatirkan dalam konteks ujaran kebencian ini adalah dampaknya.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Gubernur Jawa Timur sekaligus Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawansa memberikan sambutan saat pelantikan pengurus cabang Muslimat NU di Kediri, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022). Kunjungan Gubernur Jawa Timur di Kediri tersebut guna melakukan peletakan batu pertama pembangunan Klinik Medik Dasar Muslimat sekaligus pelantikan pengurus cabang Muslimat NU Kediri.
Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani
Gubernur Jawa Timur sekaligus Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawansa memberikan sambutan saat pelantikan pengurus cabang Muslimat NU di Kediri, Jawa Timur, Sabtu (3/9/2022). Kunjungan Gubernur Jawa Timur di Kediri tersebut guna melakukan peletakan batu pertama pembangunan Klinik Medik Dasar Muslimat sekaligus pelantikan pengurus cabang Muslimat NU Kediri.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengajak akademisi dan praktisi komunikasi turut memerangi ujaran kebencian dan perundungan yang semakin marak akhir-akhir ini. Menurutnya, fenomena ujaran kebencian dan perundungan sudah menjadi trend global yang kasusnya terus mengalami peningkatan.

Menurutnya, kemajuan teknologi yang sangat pesat, termasuk media sosial turut menjadi pemicu semakin mudahnya seseorang dalam menyebarluaskan berbagai informasi, termasuk ujaran kebencian dan aksi perundungan. Menurutnya, yang perlu dikhawatirkan dalam konteks ujaran kebencian ini adalah dampaknya, di mana masyarakat rentan termakan isu-isu yang bisa menimbulkan kekerasan, perpecahan, dan konflik. 

"Sedangkan dalam kasus perundungan akan menyebabkan tekanan sosial, stress, trauma, bunuh diri pada korban dan juga berpotensi membunuh orang lain," kata Khofifah, Jumat (23/9/2022).

Khofifah menyebut, ujaran kebencian yang banyak bertebaran di media sosial bertolak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa atau etika berkomunikasi. Kebebasan di media sosial, lanjut Khofifah, menjadi penyebab individu tidak merasa takut melakukan aksi ujaran kebencian di suatu postingan atau berita. Anonimitas yang disediakan platform media sosial juga menyebabkan banyak orang merasa aman saat melakukan aksi tersebut. 

"Tidak sedikit yang menghujat, menghina, dan mencaci maki berdalih sebagai bentuk kritik. Parahnya lagi, komentar negatif tersebut dilakukan demi mendapatkan like, terlihat keren, atau mengikuti tren, tanpa mengetahui apa yang terjadi dan inti permasalahannya," ujarnya.

Maka dari itu, kata Khofifah, perang melawan ujaran kebencian dan perundungan adalah sebuah pekerjaan besar bersama. Masyarakat, harus terus diedukasi bagaimana cara menggunakan media sosial dengan bijak. Termasuk bagaimana cara bersosialisasi dan berkomunikasi dengan individu dan kelompok lain sehingga potensi konflik bisa diredam.

Selain itu, lanjut Khofifah, literasi digital masyarakat juga perlu ditingkatkan agar tidak tersandung UU ITE. "Literasi digital bukan sebatas kemampuan untuk mengoperasikan suatu teknologi pada kehidupan sehari-hari. Tetapi para pengguna juga dituntut untuk bisa bertanggung jawab ketika menggunakannya," kata Khofifah.

Kendati begitu, Khofifah mengatakan, bukan berarti masyarakat tak lagi bebas untuk berpendapat atau berekspresi. Hanya saja, perlu ada batasan-batasan untuk mengeluarkan pendapatnya. Khofifah optimistis keterlibatan akademisi dan praktisi komunikasi dapat meningkatkan toleransi dan moderasi yang akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement