Rabu 28 Sep 2022 09:52 WIB

Menghindari Maksiat Lidah

Di antara maksiat lidah adalah ghibah, namimah, dan berdusta.

Pendusta/ilustrasi. Berdusta merupakan salah satu maksiat lidah.
Foto: mensfitness.com
Pendusta/ilustrasi. Berdusta merupakan salah satu maksiat lidah.

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam karyanya,  Bahjatul Wasail, Syaikh Nawawi menyebut bahwa maksiat lidah itu banyak. Artinya jumlahnya tidak terbatas. Namun berikut ini adalah maksiat lidah yang beliau identifikasi. 

Pertama, ghibah atau menceritakan orang lain yang tidak ada secara fisik, dan yang diceritakan itu yang tidak disukai. Syaikh Nawawi menganggap tetap ghibah kendati yang diceritakan itu sesuai dengan kenyataan. Namun dibolehkan ghibah terhadap orang yang menampakkan kefasikan di muka publik seperti meninggalkan puasa, shalat, dan ibadah lainnya. Yang menarik, ghibah terhadap kekurangan seorang  khatib termasuk yang dibolehkan. Mungkin alasannya untuk perbaikan dan pembelajaran.

Kedua, namimah. Dalam bahasa kita, namimah itu tak lain mengadu domba pihak-pihak tertentu. Tujuannya untuk memecah-belah mereka yang bersatu dan agar mereka yang saling mencintai jadi saling membenci.

Bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya Nabi  bersabda, “Maukah kuberitahukan kepada kalian apa itu al-'Adhhu? Itulah namimah, (yakni) perbuatan menyebarkan berita untuk merusak hubungan di antara sesama manusia." (HR  Muslim).

Pelaku namimah diancam masuk neraka, sebagaimana sabda Nabi, "Tidak masuk surga pelaku namimah.” (HR  Muslim).

Ketiga, di antara maksiat lidah adalah berdusta. Dalam keseharian terkadang berdusta dimaksudkan untuk bercanda. Padahal bercanda tidak harus berdusta. Nabi bersabda, "Aku juga bercanda, tetapi tetap aku berkata yang benar." (HR Thabrani). Inilah balasan buat pelaku dusta, "Seseorang tidak dikatakan beriman seluruhnya sampai ia meninggalkan dusta saat bercanda.” (HR  Ahmad).

Lebih jelas lagi, Allah menyatakan, "Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta." (QS al-Nahl/16: 105). Dari ayat ini dapat dipahami bahwa berdusta adalah perbuatan yang diada-adakan untuk suatu maksud tertentu. Perbuatan dusta ini ada pada diri pelaku ghibah dan namimah.

Karena begitu bahayanya dusta, Nabi mengancam pelakunya dengan neraka,  "Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga.  Apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta."  (HR Abu Daud).

Keempat, yang termasuk maksiat lidah adalah memaki, mengumpat, dan  melaknat. Ketiganya serupa tapi tak sama.

Memaki, bagi Syaikh Nawawi, adalah menyamakan orang dengan apa saja yang memiliki nilai kurang dan hina. Sementara mengumpat berasal dari kata umpat yang berarti memburuk-burukan orang dalam keadaan marah dengan kata-kata keji dan kotor. Jadi tampaknya mengumpat lebih luas dari memaki.

Berbeda lagi dengan memaki dan mengumpat adalah melaknat. Melaknat tidak ditujukan hanya kepada manusia. Menurut Syaikh Nawawi, seluruh kalimat yang dilontarkan kepada hewan dan benda mati termasuk kategori ini. Inti melaknat adalah agar yang dilaknat tidak mendapatkan rahmat Allah. Jadi melaknat bukan hak manusia.

Untuk menghindari maksiat lidah, cara yang paling mudah adalah diam. Nabi mewanti-wanti, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR   Bukhari).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement