Rabu 28 Sep 2022 16:47 WIB

Perpres 112 Diharapkan Bisa Mengakselerasi Pengembangan Energi Baru Terbarukan

Perpres 112/2022 dinilai mewujudkan komitmen pembangkit listrik ramah lingkungan.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Mas Alamil Huda
Pekerja menyelesaikan pekerjaan pada proyek sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022). Proyek PLTP Dieng 2 berkapasitas 55 MW merupakan salah satu Proyek Strartegis Nasional (PSN) dan masuk dalam Fast Track Program (FTP) tahap II 10.000 MW dari program 35.000 MW pada sektor pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan pemerintah.
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Pekerja menyelesaikan pekerjaan pada proyek sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022). Proyek PLTP Dieng 2 berkapasitas 55 MW merupakan salah satu Proyek Strartegis Nasional (PSN) dan masuk dalam Fast Track Program (FTP) tahap II 10.000 MW dari program 35.000 MW pada sektor pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 dinilai langkah maju dalam mewujudkan komitmen pembangkit listrik rendah emisi dan ramah lingkungan. Perpres tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik tersebut diharapkan bisa mengakselerasi pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT).

Wakil Sekretaris Bidang Energi dan Sumber Daya Alam (SDA) PW GP Ansor Jawa Timur (Jatim) Junaidi mengatakan, perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 13 September 2022 tersebut menetapkan patokan tarif pembelian listrik yang memanfaatkan EBT sebagai sumber energi oleh PLN. Menurutnya, patokan tarif ini sudah lama ditunggu para pengembang untuk mendapatkan kepastian dalam bisnis EBT.

Baca Juga

"Melalui Perpres 112, adanya kepastian tarif diharapkan mampu mendorong para pengembang pembangkit EBT secara ekspansif memperbesar investasinya, sehingga target bauran EBT lebih cepat tercapai," kata dia dalam siaran tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (28/9).

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada Perpres Nomor 22 Tahun 2017 memberikan amanat bauran energi primer sebesar 23 persen EBT atau 45,2 Giga Watt (GW) pembangkit EBT pada tahun 2025, dan 31,2 persen EBT atau 167,6 GW pembangkit EBT pada tahun 2050. Sebagai gambaran, Dewan Energi Nasional melansir Neraca Energi Nasional 2021, bauran energi primer tahun 2020 baru mencapai 11,3 persen EBT dan 10,47 GW pembangkit EBT. Di sektor pembangkit, capaian tersebut belum melebihi 25 persen dari target tahun 2025.

Mahasiswa magister Inovasi Sistem dan Teknologi–Energi Terbarukan ITS Surabaya tersebut mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya listrik EBT saat ini masih terbilang mahal. Faktor seperti tingginya biaya investasi awal dan ketidakstabilan produksi yang berimplikasi pada pembiayaan komponen penyimpanan energi menjadi sebagian penyebabnya. Tak heran, kata dia, mayoritas listrik Indonesia masih disuplai pembangkit fosil atau batubara yang lebih murah.

Junaidi menjelaskan, penetapan patokan tarif tertinggi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) untuk kapasitas lebih besar dari 50 Mega Watt (MW) sampai dengan 100 MW, ditetapkan patokan harga tertinggi pembelian listrik sebesar 8,64 cent dolar Amerika Serikat (AS) per KWh pada periode operasi 10 tahun pertama dan 7,35 cent dolar AS per KWh periode selanjutnya. Tahun 2020, dari data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030, produksi PLTP dari luar PLN sebesar 11.377 Tera Watt Jam (TWh). Dengan asumsi memakai patokan harga tertinggi periode 10 tahun pertama, maka pada tahun 2020, omset PLTP bisa mencapai 982,97 miliar dolar Amerika.

Pada Pasal 24, lanjut Junaidi, pemerintah menggaransi PLN akan memberikan kompensasi jika terjadi kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik yang diakibatkan Perpres 112. Menurutnya, pasal tersebut menunjukkan kesadaran pemerintah menoleransi kenaikan biaya kompensasi atau subsidi energi demi idealitas energi hijau.

 

Hati-Hati

Selain soal tarif EBT, Perpres 112 juga mengamanatkan pada PLN dan Kementerian ESDM untuk segera 'mempensiunkan' PLTU. PLTU diizinkan beroperasi paling lama hingga 2050 untuk kemudian digantikan pembangkit EBT. Padahal, kata Junaidi, berdasarkan data RUPTL 2021-2030, pada 2020 produksi listrik Indonesia didominasi oleh PLTU dengan proporsi 66,30 persen atau setara 180.203 TWh.

"Mayoritas atau setara 62,66 persen di antaranya berasal dari produksi PLTU milik PLN. Total, PLN memiliki 102 unit PLTU, dengan kapasitas terpasang 18,62 GW dan daya mampu 16,66 GW. Sementara di luar PLN, terdapat 75 unit PLTU dengan kapasitas terpasang 11,54 GW," ujar dia.

Hal tersebut, lanjut Junaidi, mengisyaratkan ketergantungan listrik Indonesia pada PLTU sangat besar dan banyaknya bisnis yang bakal terimbas ketika berhenti operasinya. Oleh karena itu, menurut Junaidi, pengembangan pembangkit EBT menjadi sangat penting, khususnya panas bumi (PLTP), yang memiliki karakteristik pembangkitan hampir sama dengan PLTU.

"Pemerintah perlu ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan penghentian operasional PLTU. Harapannya, apapun keputusan pemerintah terkait PLTU, ketersediaan dan kualitas supply listrik harus tetap terjamin serta harganya terjangkau," kata dia.

Junidi menambahkan, berdasarkan data yang ada, pengembangan pembangkit EBT dihadapkan pada ragam tantangan. Di antaranya mengejar target bauran energi yang telah ditetapkan dalam RUEN. Tantangan kedua adalah besar kapasitas dan produktivitasnya harus mampu menggantikan PLTU yang bakal pensiun. Kemudian yang ketiga, mampu menjamin ketersediaan listrik yang kebutuhannya terus meningkat.

Tantangan selanjutnya, membengkaknya anggaran kompensasi atau subsidi energi yang telah disinyalir secara eksplisit dalam Perpres 112. Tantangan kelima, mendesak pengembangan teknologi dalam negeri terkait aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Keenam, yakni transformasi tenaga kerja PLTU berikut bisnis pendukungnya. 

"Yang terakhir, tantangannya adalah efek bisnis dan finansial PLN akibat rencana penghentian operasional 102 unit PLTU miliknya," ujar Junaidi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement