Rabu 12 Oct 2022 23:58 WIB

Amnesty Sebut Pernyataan Polisi soal Gas Air Mata Dahului Proses Investigasi

Pernyataan polisi disebut prematur soal kematian akibat kekurangan oksigen

Rep: Haura Hafidzah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suporter Arema FC (Aremania) Kevia Naswa Ainur Rohma (kanan) mengobati matanya yang memerah dengan dibantu ibunya di Kedungkandang, Malang, Jawa Timur, Rabu (12/10/2022). Kevia adalah salah satu dari 737 korban luka yang saat terjadinya tragedi Kanjuruhan berada di tribun 12 dan terkena gas air mata serta terinjak-injak penonton lain.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Suporter Arema FC (Aremania) Kevia Naswa Ainur Rohma (kanan) mengobati matanya yang memerah dengan dibantu ibunya di Kedungkandang, Malang, Jawa Timur, Rabu (12/10/2022). Kevia adalah salah satu dari 737 korban luka yang saat terjadinya tragedi Kanjuruhan berada di tribun 12 dan terkena gas air mata serta terinjak-injak penonton lain.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menanggapi pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo tentang penyebab korban tewas tragedi Kanjuruhan karena kekurangan oksigen bukan gas air mata. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan tidak memiliki rasa empati dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung.

“Atas nama keadilan, akuntabilitas atas brutalitas aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan tidak boleh berhenti pada aksi simbolik ataupun sanksi administratif. Pernyataan bahwa korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan tidak disebabkan oleh gas air mata itu prematur, tidak empati dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung," katanya pada Rabu (12/10/2022).

Kemudian, ia melanjutkan dalam beberapa pedoman internasional, gas air mata tidak lagi tergolong senjata yang tidak mematikan atau non-lethal weapon. Jenis senjata ini sudah dinilai sebagai senjata yang kurang mematikan atau less-lethal weapon karena sejumlah pengalaman menunjukkan efek luka yang fatal dan bahkan berakibat kematian.

“Apalagi, jika ditembakkan ke dalam area stadion yang berisi puluhan ribu orang di mana jalan penyelamatan diri terbatas. Kami mendesak agar Tim Gabungan Independen Pencari Fakta agar menelusuri apakah gas air mata yang dipakai polisi merupakan jenis CN (chloracetanophone) atau CS (chlorobenzalmonolonitrile). Efek jenis CS bisa lima kali lipat, jadi memang bisa mematikan," kata dia.

Ia menambahkan senjata non-lethal weapon apapun, meskipun tidak didesain untuk membunuh, tetap dapat membunuh jika dilakukan dalam konteks dan cara yang keliru. Setidaknya harus memenuhi empat prinsip, yaitu legalitas, nesesitas, proporsionalitas dan akuntabilitas.

Sementara itu, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan jangankan menembakan gas air mata, membawa saja dilarang FIFA. Jadi melanggar legalitas. Apalagi menembak ke arah tribun. Itu tidak perlu dan tidak proporsional sehingga melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas. Karenanya harus ada akuntabilitas.

“Sikap pembelaan diri semacam itu mencederai publik yang tengah berduka. Juga ironis karena pernyataan tersebut disampaikan pada hari yang sama ketika polisi di Malang melakukan aksi sujud yang simpatik. Mabes Polri seharusnya lebih serius meminta warga yang menjadi saksi agar tidak takut bersuara. Jamin keselamatan mereka," kata dia.

Selain itu, semua yang terlibat, tanpa terkecuali, harus diproses hukum dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.

"Aparat keamanan, termasuk anggota polisi dan militer, harus menjadi teladan atas bagaimana keadilan dan akuntabilitas hukum ditegakkan secara benar dan adil," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement