Jumat 14 Oct 2022 08:33 WIB

Masih Ada Kekhawatiran OAP Terpinggirkan Oleh Pendatang 

Serbuan pendatang diyakini bakal membuat OAP kalah saing di berbagai sektor ekonomi.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Seorang mama menata noken dagangannya di Taman Imbi Jayapura, Papua. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/Indrayadi TH
Seorang mama menata noken dagangannya di Taman Imbi Jayapura, Papua. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menargetkan peresmian tiga provinsi baru di Papua pada akhir Oktober 2022 ini. Di sisi lain, orang asli Papua (OAP) semakin cemas bakal kalah saing dan terpinggirkan oleh warga pendatang yang masuk ke tiga daerah otonomi baru (DOB) itu.

Kecemasan soal terpinggirkan oleh pendatang ini sebenarnya sudah terungkap dalam sejumlah demonstrasi menolak pemekaran Provinsi Papua yang dilakukan OAP di sejumlah titik pada bulan-bulan lalu. Mereka menentang keras pendirian Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan.

Salah seorang warga Kabupaten Merauke bernama Beatrix Gebze mengaku, masih merasakan kecemasan itu. Dia berujar, dirinya dan masyarakat lainya tentu dengan senang hati menerima pembangunan yang akan dilakukan di Merauke sebagai ibu kota Papua Selatan.

Hanya saja, dia cemas, pendirian Provinsi Papua Selatan ini dan masifnya pembangunan setelah peresmiannya bakal turut diiringi dengan masuknya warga pendatang dari berbagai penjuru Indonesia. Serbuan pendatang itu diyakini bakal membuat OAP kalah saing dalam berbagai sektor ekonomi.

"Kemampuan orang Papua itu masih minim. Skill-nya terbatas. Orang Papua juga belum bisa mengolah potensi alam menjadi bernilai tinggi secara ekonomi karena masih dikelola secara tradisional," kata Beti, sapaan akrab Beatrix Gebze, ketika dihubungi Republika dari Jakarta, Kamis (13/10).

Kecemasan Beti itu muncul karena sudah merasakan sendiri bagaimana OAP selama ini selalu dinomorduakan setelah pendatang dalam hal kesempatan kerja. Belum pemekaran saja sudah banyak orang luar yang datang. Apalagi setelah pemekaran, pasti butuh tenaga kerja cukup banyak. 

"Artinya, pasti banyak orang luar datang untuk mengisi posisi (pekerjaan) tertentu, mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah," ujar Beti.

Beti melanjutkan, OAP akan kalah saing oleh pendatang bukan hanya dalam hal kesempatan kerja, tapi juga dalam hal berusaha. Dugaannya ini juga berkaca dari kondisi selama ini di Merauke.

"Perputaran ekonomi selama ini dikuasai oleh teman-teman nusantara, jadi bukan hanya di birokrasi," kata perempuan berusia 37 tahun itu. Frasa 'teman-teman nusantara' itu merujuk pada warga pendatang yang tiba dari berbagai daerah di Tanah Air.

Dengan kecemasan semacam itu, Beti ragu pemekaran provinsi ini bakal membuat OAP sejahtera. Tapi apa daya, provinsi baru akan segera diresmikan. Beti pun berharap Pemerintah Daerah Provinsi Papua Selatan dan Pemerintah Pusat untuk membatasi jumlah warga pendatang yang hendak masuk nantinya.

"Harapan saya mungkin proteksi kehadiran non-OAP dari luar Papua untuk mengisi wilayah pemekaran," kata perempuan yang menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Lembaga Advokasi Peduli Perempuan Merauke itu.

Dia juga berharap, agar Pemda Papua Selatan nantinya membuat sejumlah kebijakan maupun program yang berpihak dan memberdayakan kepada OAP. Dia mengusulkan, tiga hal yang harus dilakukan Pemda.

Pertama, semua program Pemda Papua Selatan harus berdasarkan kearifan lokal. Kedua, Pemda fokus mengembangkan dan meningkatkan kemampuan OAP. Dan ketiga, Pemda melibatkan OAP dalam pengambilan keputusan dan juga dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan pemerintah. 

"Misalnya dalam proyek pembangunan jalan. Masa buat jalan atau bangun gorong-gorong saja harus datangkan orang dari Jawa," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement