Sabtu 15 Oct 2022 06:55 WIB

10 Anak Yaman Pengidap Leukemia Meninggal Akibat Obat Kedaluwarsa

Perang Yaman yang berlangsung delapan tahun menghambat akses ke obat-obatan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Dalam arsip foto 30 Juli 2018 ini, seorang anak laki-laki berusia 17 tahun memegang senjatanya di bendungan tinggi di Marib, Yaman. Pemberontak Houthi telah setuju untuk membebaskan barisan tentara anak-anak mereka, yang telah bertempur oleh ribuan orang selama tujuh tahun perang saudara di negara itu, kata PBB Senin, 18 April 2022. 10 Anak Yaman Pengidap Leukemia Meninggal Akibat Obat Kedaluwarsa
Foto: AP Photo/Nariman El-Mofty
Dalam arsip foto 30 Juli 2018 ini, seorang anak laki-laki berusia 17 tahun memegang senjatanya di bendungan tinggi di Marib, Yaman. Pemberontak Houthi telah setuju untuk membebaskan barisan tentara anak-anak mereka, yang telah bertempur oleh ribuan orang selama tujuh tahun perang saudara di negara itu, kata PBB Senin, 18 April 2022. 10 Anak Yaman Pengidap Leukemia Meninggal Akibat Obat Kedaluwarsa

REPUBLIKA.CO.ID, SANA'A -- Sekitar 10 anak pasien Leukemia di Yaman meninggal dab puluhan lainnya sakit parah. Kejadian itu terjadi usai anak-anak tersebut diberikan obat kanker kedaluwarsa di ibu kota yang dikuasai Houthi.

Kementerian Kesehatan yang dikelola Houthi dalam sebuah pernyataan menyatakan, anak-anak itu berusia antara tiga dan 15 tahun dan meninggal di Rumah Sakit Kuwait Sanaa setelah disuntik dengan obat-obatan selundupan dosis lama di sejumlah klinik swasta. Para pejabat tidak mengatakan kapan 10 kematian itu terjadi.

Baca Juga

Menurut pejabat kesehatan dan pekerja yang berbicara kepada Associated Press, sekitar 50 anak menerima pengobatan kemoterapi selundupan yang dikenal sebagai Methotrexate yang awalnya diproduksi di India. Mereka mengatakan, total 19 anak telah meninggal karena pengobatan yang kedaluwarsa.

Para pejabat dan pekerja berbicara dengan syarat anonim karena mereka tidak diberi pengarahan untuk berbicara dengan media. Perang Yaman yang berlangsung delapan tahun itu membuat kurangnya akses ke sumber daya dasar, termasuk makanan dan obat-obatan. Kondisi ini telah menciptakan jaringan penyelundupan besar di kedua wilayah yang dikuasai pemberontak Houthi dan koalisi Arab Saudi.

Beberapa dokter di Sanaa mengatakan, pejabat Houthi diam-diam bekerja dalam kemitraan dengan penyelundup obat-obatan yang sering menjual perawatan kedaluwarsa ke klinik swasta dari gudang penyimpanan di seluruh negeri. Dengan melakukan itu, Houthi diklaim membatasi ketersediaan perawatan yang aman.

Houthi di masa lalu berusaha menutupi penyebab kematian. Selama puncak pandemi virus korona, dokter menuduh pemerintah Houthi memaksa pekerja medis untuk memalsukan sertifikat kematian.

Kementerian Kesehatan Houthi mengatakan, telah membuka penyelidikan atas insiden tersebut. Mereka menyalahkan kematian tersebut kepada pasukan koalisi Saudi karena menyebabkan kurangnya obat-obatan yang tersedia di daerah-daerah yang dikuasai Houthi.

Keluarga dari salah satu anak yang meninggal mengatakan, anaknya merasakan sakit dan kram setelah menerima perawatan kemoterapi yang kadaluwarsa kemudian meninggal lima hari kemudian. "Hal terburuk adalah bahwa administrasi rumah sakit berusaha menyembunyikan kebenaran dari kami," kata ayah anak laki-laki itu yang meminta untuk tidak disebutkan namanya demi keselamatannya dan keluarganya.

Pasukan Houthi yang didukung Iran merebut sebagian besar Yaman utara dan Sanaa pada 2014, mendorong pemerintah yang diakui internasional ke pengasingan. Koalisi yang dipimpin Arab Saudi, termasuk Uni Emirat Arab, melakukan intervensi pada tahun berikutnya untuk mencoba mengembalikan pemerintah ke tampuk kekuasaan.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement