Rabu 19 Oct 2022 14:37 WIB

Jihad Literasi Perlu Dilakukan ala Santri Milenial

Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober sangat identik dengan peristiwa Resolusi Jihad

Peringatan Hari Santri (Ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Peringatan Hari Santri (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober dinilai bukanlah politisasi umat Islam, namun merupakan wujud rekognisi dan afirmasi pemerintah atas jasa dan peran kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Santri masa kini dihadapkan pada beragam tantangan kebangsaan dan keagamaan, berupa maraknya intoleransi beragama, bahkan ekstremisme yang menjurus pada kekerasan dan teror. Semua itu bermula dari mandeknya pemikiran keislaman sehingga umat Islam mudah didoktrin oleh ideologi kebencian yang menebar perpecahan.

Oleh sebab itu, Ketua Kajian Aswaja Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (LBM PWNU Jateng), HM Ulil Albab Djalaluddin, menekankan pentingnya menonjolkan semangat menuntut ilmu dan moderasi beragama bagi para santri dalam rangka peringatan HSN guna menghadapi tantangan kekinian terkait intoleransi dan ideologi radikal ekstremisme.

"Pada hari santri, semangat yang harus ditonjolkan yaitu kita harus selalu belajar dan belajar, harus selalu meningkatkan literasi referensi kita. Artinya ketika kita ingin menjadi santri yang moderat, maju, tentunya kita harus menggali, mempelajari kutubus salaf yaitu kitab-kitab warisan ulama salaf," ujar HM Ulil Albab Djalaluddin di Semarang, Rabu (19/10/2022).

 

Dirinya melanjutkan, Hari Santri yang akan jatuh pada 22 Oktober sangat identik  dengan peristiwa Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadaratus Syeck KH Hasyim Asy’ari menandai pentingnya peran santri, pesantren dan umat Islam berjihad khususnya dalam konteks kekinian.

"Jihad tentunya sesuai dengan profesinya. Jadi Mujahid fisabilillah ini tentunya bukan yang era sekarang yang angkat pedang,  yang dikit-dikit takbir itu bukan, bukan seperti itu. Artinya jihad di era milenial di zaman ini ya sesuai dengan profesi," jelas pria yang akrab disapa Gus Ulil tersebut.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab, kewajiban jihad sejatinya hanya sebagai perantara. Karena tujuan jihad itu adalah memberi pencerahan kepada umat. Ketika memberi pencerahan kepada umat itu tanpa dengan angkat senjata tentunya itu lebih baik daripada memberi pencerahan dengan angkat senjata.

"Dan khususnya jihad oleh santri, karena sudah banyak ideologi-ideologi yang menyimpang yang mau merongrong NKRI, adalah membangun argumentasi keagamaan untuk melawan kelompok tersebut, yang merongrong aqidah Alussunnah Wal Jamaah, akidahnya Islam nusantara. Kita harus tampil melawan dengan referensi," ungkapnya.

Dalam kesempatannya, Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) ini menyinggung terkait mulai munculnya riak-riak propaganda politik identitas menjelang tahun politik mendatang. Dirinya mewanti-wanti kepada segenap santri untuk bertawasut (bersikap tengah, tidak fundamentalis atau terlalu liberalis) serta menguatkan pemahaman terkait siasah atau politik agar menjadi santri yang cerdas, relijius dan berjiwa nasionalis.

"Kita harus tawasut, dalam hal Siasah dalam hal politik juga kita harus tawasut. Karena sejatinya Siasah atau politik adalah mengupayakan bagaimana masyarakat itu selamat dunia dan akhirat. Politik identitas harus kita hindari. Makanya, jadi pemilih yang cerdas," kata Gus Ulil.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement