Ahad 23 Oct 2022 18:15 WIB

OKI Adopsi Deklarasi Perangi Disinformasi dan Islamofobia

OKI berkomitmen memerangi disinformasi sistemik di era digital.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Islamofobia
Foto: youtube
Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Organisasi Kerja Sama Islam telah mengadopsi deklarasi untuk memerangi disinformasi dan Islamofobia. Deklarasi tersebut disepakati dalam sesi ke-12 Konferensi Islam Menteri Informasi OKI yang digelar di Istanbul, Turki, Sabtu (22/10/2022).

Lewat deklarasi tersebut, OKI berkomitmen memerangi disinformasi sistemik di era digital. Dalam deklarasi tersebut, OKI pun menegaskan kembali dukungan bulat mereka untuk mengutuk segala bentuk ekstremisme, terorisme, dan radikalisme.

Sesi ke-12 Konferensi Islam Menteri Informasi OKI mengusung tema “Combating Disinformation and Islamophobia in the Post-truth Era”. Konferensi dua hari tersebut dihadiri para menteri tingkat tinggi dan perwakilan dari 57 negara. Mereka berupaya memperdalam kerja sama di bidang media dan informasi di dunia Islam guna mengatasi penyebaran disinformasi agama.

Pada awal sesi pembukaan pada Sabtu lalu, Arab Saudi menyerahkan kepemimpinan konferensi ke Turki. Dalam pidatonya, Penjabat Menteri Media Arab Saudi Dr. Majid bin Abdullah al-Qasabi menjabarkan tantangan yang sedang disaksikan dunia saat ini, khususnya di bidang informasi dan media. Direktur Komunikasi Turki Fahrettin Altun menggemakan hal serupa.

“Ada tanggung jawab besar di pundak konferensi, terutama karena kesalahan informasi media sedang meningkat dan (ini) menimbulkan masalah besar mengingat sulitnya mengakses kebenaran di seluruh dunia,” kata Altun, dikutip laman Al Arabiya.

Sementara itu, Sekjen OKI Hissein Brahim Taha mengatakan, sidang tersebut bertujuan membahas tantangan yang dihadapi sektor media, khususnya di negara-negara anggota OKI, serta mengkaji wacana media terkait masalah agama. Menurutnya, mengatasi masalah disinformasi sangat penting saat ini dengan munculnya media sosial (medsos). Sebab medsos memungkinkan siapa saja untuk mengirim dan menerima berita serta membuat konten media.

Taha juga mencatat bahwa meningkatnya wacana terorisme dan ekstremisme telah berhasil “memikat” segmen populasi lebih muda di bawah “slogan semu-Islam yang tidak ada hubungannya dengan agama Islam”. “Disinformasi dan Islamofobia saat ini merupakan salah satu praktik paling serius untuk memalsukan fakta dan menyesatkan opini publik lokal dan internasional,” katanya seraya menambahkan bahwa mereka berusaha mendistorsi kebenaran dan nilai-nilai luhur Islam.

Taha meminta media untuk memerangi fenomena ini tanpa henti. Dia pun mendesak media-media dan institusi menggunakan wacana yang terinformasi serta persuasif untuk memerangi tantangan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement