Rabu 09 Nov 2022 16:55 WIB

Presiden Taiwan Apresiasi Dukungan Inggris, China Meradang

China menegaskan, Taiwan tak berhak untuk menjalin atau membuka hubungan luar negeri

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berterima kasih kepada Inggris atas dukungan mereka untuk Taipei. Dia berharap hubungan Taiwan-Inggris bisa memasuki tingkatan terbaru.
Foto: Taiwan Presidential Office via AP
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berterima kasih kepada Inggris atas dukungan mereka untuk Taipei. Dia berharap hubungan Taiwan-Inggris bisa memasuki tingkatan terbaru.

REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI – Presiden Taiwan Tsai Ing-wen berterima kasih kepada Inggris atas dukungan mereka untuk Taipei. Dia berharap hubungan Taiwan-Inggris bisa memasuki tingkatan terbaru.

“Izinkan saya mengambil kesempatan ini untuk berterima kasih kepada pemerintah Inggris atas dukungannya yang lama terhadap partisipasi internasional Taiwan serta untuk mengadvokasi perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan,” kata Tsai saat berbicara di hadapan Menteri Perdagangan Inggris Greg Hands di Taipei, Rabu (9/11/2022).

Baca Juga

Dalam kunjungannya ke Taipei, Hands memang telah menyampaikan keinginan Inggris untuk meningkatkan kerja sama dengan Taiwan. Bidang yang ingin dikerjasamakan antara lain pendidikan, energi angin, dan pengembangan semikonduktor. Taiwan diketahui memproduksi sebagian besar cip prosesor kelas atas dunia. Sementara Inggris adalah rumah bagi ARM, perancang cip terkemuka.

“Hubungan kami melampaui perdagangan dan investasi sebagai dua kelompok pulau dengan demokrasi serta institusi yang kuat. Kita memiliki banyak kesamaan dan menghadapi banyak tantangan sebagai mitra yang berpikiran sama,” kata Hands.

Kunjungan Hands ke Taiwan telah memicu reaksi China. Pada Senin (7/11/2022) lalu, Beijing menuntut Inggris untuk menghentikan kontak resmi dengan Taiwan. China menegaskan, Taiwan tak memiliki hak untuk menjalin atau membuka hubungan luar negeri. China telah memberlakukan larangan visa dan sanksi lainnya kepada para pejabat asing atau pemerintah yang memperluas kontak dengan Taiwan.

Bulan lalu Taiwan menuduh China sedang mengkaji peperangan antara Rusia dan Ukraina untuk mengembangkan strategi “perang hibrida” melawan Taipei. Tekanan psikologis termasuk dalam strategi tersebut.

“Tahun ini, militer komunis telah meminjam dari pengalaman perang Rusia-Ukraina untuk mengembangkan ‘perang hibrida’ melawan Taiwan dan memperkuat pelatihan tempur dan persiapan melawan musuh yang kuat,” kata Direktur Jenderal Biro Keamanan Nasional Taiwan Chen Ming-tong saat berbicara di parlemen Taiwan, 12 Oktober lalu.

Dia menjelaskan, setelah menggelar latihan militer berskala besar pada Agustus lalu, China memperluas “zona abu-abu” dan aktivitas hibridanya terhadap Taiwan. Hal itu dilakukan terutama dengan mengerahkan pesawat nirawak (drone) ke pulau-pulau yang dikendalikan Taiwan di lepas pantai China serta ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan.

China diketahui mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Namun Taiwan berulang kali menyatakan bahwa ia adalah negara merdeka dengan nama Republik China. Taiwan selalu menyebut bahwa Beijing tidak pernah memerintahnya dan tak berhak berbicara atas namanya. Situasi itu membuat hubungan kedua belah pihak dibekap ketegangan dan berpeluang memicu konfrontasi.

AS, walaupun tak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan karena tunduk pada kebijakan "Satu China", tetap mendukung Taipei dalam menghadapi ancaman Negeri Tirai Bambu. Isu Taiwan menjadi salah satu faktor yang meruncingkan hubungan Beijing dengan Washington.

sumber : Reuters / AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement