Rabu 23 Nov 2022 19:41 WIB

Menteri Pertama Skotlandia Kecewa Referendum Kemerdekaan Ditolak

MA Inggris memutuskan Skotlandia tidak memiliki kekuatan untuk menggelar referendum.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Bendera Skotlandia tercermin dalam genangan air di luar Mahkamah Agung, di London, Rabu, 23 November 2022. Mahkamah Agung Inggris memutuskan Rabu bahwa Skotlandia tidak memiliki kekuatan untuk mengadakan referendum baru tentang kemerdekaan tanpa persetujuan Inggris pemerintah. Putusan tersebut merupakan kemunduran bagi kampanye pemerintah Skotlandia untuk melepaskan diri dari Inggris.
Foto: AP Photo/Alberto Pezzali
Bendera Skotlandia tercermin dalam genangan air di luar Mahkamah Agung, di London, Rabu, 23 November 2022. Mahkamah Agung Inggris memutuskan Rabu bahwa Skotlandia tidak memiliki kekuatan untuk mengadakan referendum baru tentang kemerdekaan tanpa persetujuan Inggris pemerintah. Putusan tersebut merupakan kemunduran bagi kampanye pemerintah Skotlandia untuk melepaskan diri dari Inggris.

REPUBLIKA.CO.ID, EDINBURGH -- Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon mengutarakan kekecewaan atas ditolaknya referendum kemerdekaan negaranya oleh Mahkamah Agung Inggris. Kendati demikian, dia mengatakan akan menghormati putusan tersebut.

“Undang-undang yang tidak mengizinkan Skotlandia memilih masa depan kami sendiri tanpa persetujuan Westminster (parlemen Inggris) mengungkap mitos tentang gagasan Inggris sebagai kemitraan sukarela dan membuat kasus untuk kemerdekaan,” kata Sturgeon lewat akun Twitter pribadinya, Rabu (23/11/2022).

Baca Juga

Dia menekankan, demokrasi Skotlandia tidak akan ditolak. “Keputusan hari ini (oleh Mahkamah Agung Inggris) menghalangi satu jalan untuk mendengar suara Skotlandia tentang kemerdekaan. Namun dalam demokrasi, suara kami tidak dapat dan tidak akan dibungkam,” ucapnya.

Mahkamah Agung Inggris memutuskan, Skotlandia tidak memiliki kekuatan menggelar referendum kemerdekaan tahun depan tanpa persetujuan Parlemen Inggris. Putusan tersebut menjadi pukulan keras bagi kaum nasionalis Skotlandia. “Parlemen Skotlandia tak memiliki kekuatan membuat undang-undang referendum tentang kemerdekaan Skotlandia,” kata Presiden Mahkamah Agung Inggris dalam sebuah pernyataan, Rabu.

Selama persidangan di Mahkamah Agung Inggris bulan lalu, pejabat tinggi hukum pemerintah Skotlandia, Dorothy Bain, mengatakan, mayoritas anggota parlemen Skotlandia telah dipilih berdasarkan komitmen untuk menggelar referendum kemerdekaan baru. Dia pun menekankan bahwa hasil referendum akan bersifat usulan, bukan mengikat secara hukum. Namun terlepas dari hal tersebut, jika mayoritas warga ternyata memilih “ya”, itu akan menciptakan momentum bagi Skotlandia untuk melepaskan diri dari Inggris.

Sementara itu pengacara pemerintah Inggris, James Eadie, mengatakan, kekuasaan untuk mengadakan referendum berada di tangan parlemen Inggris di London. “Sebab ini sangat penting bagi Inggris Raya secara keseluruhan,” ujarnya.

Bulan lalu Nicola Sturgeon mengatakan, dia yakin referendum kedua tentang kemerdekaan Skotlandia dari Inggris dapat berlangsung pada Oktober tahun depan. "Ya, saya yakin itu bisa terjadi. Mari kita tunggu dan lihat apa yang dikatakan pengadilan. Saya yakin Skotlandia merdeka," kata Sturgeon pada 9 Oktober lalu saat diwawancara BBC tentang potensi digelarnya referendum kemerdekaan Skotlandia dari Inggris. 

Sturgeon berpendapat, ketika pemilih mendukung partai-partai pro-kemerdekaan dalam pemilihan parlemen Skotlandia tahun lalu, ada mandat bagi mereka mengajukan rancangan undang-undang (RUU) untuk mengadakan referendum pada 19 Oktober 2023.

Dalam plebisit 2014, yang disetujui pemerintah Inggris, sebanyak 55 persen warga Skotlandia menolak kemerdekaan. Sementara 45 persen lainnya mendukung gagasan tersebut. Namun, Scottish National Party (SNP) berpendapat bahwa keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dua tahun kemudian adalah pengubah permainan.

Skotlandia telah menggelar referendum kemerdekaan pada 2014. Saat itu sebanyak 55 persen warga di sana menolak berpisah atau lepas dari Inggris. Namun Sturgeon berpendapat, keadaan telah berubah sejak pemungutan suara 2014, terutama karena mayoritas masyarakat Skotlandia memilih untuk tetap berada di Uni Eropa dalam referendum Brexit tahun 2016. Sementara Inggris, secara keseluruhan, memilih untuk hengkang dari Uni Eropa.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement