Rabu 14 Dec 2022 19:17 WIB

Prancis Kerahkan 10 Ribu Polisi di Paris Jelang Laga Semifinal Vs Maroko

Pihak kepolisian Paris mengantisipasi perayaan berlebihan dari pendukung Maroko.

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Israr Itah
Pendukung tim sepak bola Maroko tersenyum jelang pertandingan sepak bola grup F Piala Dunia antara Kanada dan Maroko di Stadion Al Thumama di Doha, Qatar, Kamis, 1 Desember 2022.
Foto: AP/Frank Augstein
Pendukung tim sepak bola Maroko tersenyum jelang pertandingan sepak bola grup F Piala Dunia antara Kanada dan Maroko di Stadion Al Thumama di Doha, Qatar, Kamis, 1 Desember 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pihak keamanan Paris tengah bersiaga menjelang pertandingan semifinal Piala Dunia 2022 antara Prancis melawan Maroko, KAmis (15/12/2022) dini hari WIB. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin telah mengumumkan bahwa kota itu akan memobilisasi 10 ribu petugas polisi.

Setengah dari 10 ribu polisi itu akan ditugaskan menjaga Champs Elysees, di mana Kementerian Dalam Negeri menyebut langkah ini sebagai operasi pengendalian massa dan pencegahan terorisme. Langkah ekstrem itu diambil sebagai bentuk antisipasi setelah insiden yang terjadi, menyusul kemenangan bersejarah Maroko melawan Portugal di perempat final Piala Dunia 2022.

Baca Juga

Pada banyak kota besar di seluruh dunia, perayaan spontan meledak usai Maroko melaju ke semifinal di Qatar. Sayang, perayaan di Paris berlangsung panas, di mana petugas polisi bersenjata lengkap bentrok dengan sekitar 20 ribu pendukung yang berkumpul di sepanjang Champs Elysees.

Gas air mata dikerahkan dan sekitar 100 orang ditangkap dengan berbagai tuduhan. Di Prancis, kondisi ini menjadi tradisi yang tidak disukai setiap kali tim nasional Afrika Utara memainkan pertandingan penting dalam kompetisi internasional. 

Seorang profesor di Universitas Qatar dan juga penulis buku Sport, Politic and Society in the Arab World, Mahfoud Amara, mengatakan kalau ketegangan itu terjadi akibat kesewenang-wenangan aparat.

Menurut Mahfoud, aparat keamanan di negara-negara seperti Prancis dan Belgia, bereaksi terhadap pendukung dari negara Afrika Utara. Mereka menganggap perayaan kemenangan itu sebagai ancaman keamanan. ''Mereka beranggapan bahwa jumlah yang besar otomatis akan menjadi masalah. Oleh karena itu, mereka perlu dikendalikan dan dijauhkan dari pusat kota. Naluri untuk membatasi perayaan dengan cepat berubah menjadi ketegangan,'' kata Mahfoud, dikutip dari Al Jazeera, Rabu (14/12/2022).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement