Senin 02 Jan 2023 12:52 WIB

Kebijakan Mundur ke Belakang Bertajuk Tarif KRL Bagi Si Kaya

Gagasan membedakan tarif KRL berdasarkan kemampuan justru sulit diimplementasikan.

Calon penumpang bersiap menaiki KRL Commuter Line di Stasiun Sudirman, Jakarta, Senin (19/12/2022). Pemerintah merencanakan kenaikan tarif KRL Commuter Line pada tahun 2023 menjadi Rp 5.000 per 25 kilometer pertama dan untuk tarif lanjutan 10 kilometer berikutnya tetap Rp 1.000. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Calon penumpang bersiap menaiki KRL Commuter Line di Stasiun Sudirman, Jakarta, Senin (19/12/2022). Pemerintah merencanakan kenaikan tarif KRL Commuter Line pada tahun 2023 menjadi Rp 5.000 per 25 kilometer pertama dan untuk tarif lanjutan 10 kilometer berikutnya tetap Rp 1.000. Republika/Putra M. Akbar

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi anda pecinta bahasa Indonesia, atau bahkan tukang koreksi judul, jangan dulu mengkritik kalimat di atas. Judul ini sengaja penulis buat usai mendengar Pemerintah mempertimbangkan untuk membedakan tarif antara mereka yang kaya dan miskin untuk penggunaan Kereta Rel Listrik (KRL).

Bagi penulis, rencana perubahan sistem tarif KRL ini benar-benar mundur dan ke belakang. Mundur karena kita ketahui transportasi massal ini bisa membantu Pemerintah mengurangi emisi.

Tidak perlu jauh-jauh membahas mobil listrik yang digembar-gemborkan selama G20 tahun ini, karena cukup satu jadwal keberangkatan KRL saja sudah mampu mengurangi ratusan kendaraan di jalanan.

Ratusan kendaraan memang terdengar berlebihan, namun bila kita melihat jumlah warga Jabodetabek yang menggunakan KRL di jam sibuk, maka wajarlah bila penulis mengatakan demikian. Bayangkan satu gerbong saja mampu menampung 250 orang, maka bila 12 gerbong maka bisa mengangkut 3.000 orang. Kira-kira butuh berapa mobil dan motor untuk angkut 3.000 orang? Anda bisa menghitungnya sendiri.

Lalu bagaimana dengan ke belakang, penulis menggunakan kata itu untuk menggambarkan penjelasan dari Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Pertama beliau menjelaskan tidak ada kenaikan tarif KRL di 2023 sambil bilang hore, hore dan hore.

Kendati begitu, ia kemudian menyebutkan bahwa Kemenhub berencana mengubah sistem tarif KRL. Sistem tarif KRL ke depan akan fokus pada tarif subsidi tepat guna. Bagi mereka yang tergolong berpenghasilan tinggi akan membayar tarif tanpa subsidi. Bagaimana untuk membedakannnya? Kemenhub berencana akan memproduksi kartu baru bagi si kaya.

Menhub menyebut subsidi bagi si kaya akan dialihkan kepada sarana dan prasarana transportasi massal ini. Ini benar-benar ke belakang menurut penulis, karena tanpa subsidi, bukan tak mungkin si kaya akan beralih ke mode transportasi lain yang lebih mudah dan siap guna.

Misalnya kendaraan pribadi atau ojek online, atau bahkan taksi sekalian. Artinya, KRL sebagai transportasi massal paling efektif bukan lagi alat tepat untuk mengurangi kepadatan kendaraan di jalan raya.

Hal ini juga diamini beberapa pengamat misalnya. Pengamat transportasi Darmaningtyas misalnya menyebut secara garis besar sebenarnya rencana kenaikan tersebut dinilai tidak terlalu signifikan.

Meski dinilai tidak signifikan, kenaikan tarif ini berdampak pada mereka yang mempunyai pendapatan pas-pasan. Untuk mengatasinya, Darmaningtyas menilai mereka bisa mengajukan keringanan yang nantinya akan diberikan tarif sesuai kemampuan.

Menurut dia, subsidi ini menjadi tepat sasaran karena diberikan kepada mereka yang memerlukan. Selain itu, dia juga menyoroti bahwa langkah subsidi itu lebih tepat dibandingkan harus menerapkan bayaran lebih kepada mereka yang berdasi atau orang kaya. Sebab, secara teknis, itu sulit dilaksanakan. Problem utamanya adalah indikator dan seleksinya.

"Penghasilan berapa juta batasan pendapatan mereka yang dikelompokkan menjadi golongan mampu? Siapa yang akan melakukan verifikasi dan bagaimana mekanisme verivikasinya?” ujarnya.

Sehingga gagasan membedakan tarif KRL berdasarkan kemampuan justru sulit diimplementasikan. Hal ini berbeda dengan tarif yang dibuat naik secara merata. Bagi mereka yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan subsidi. Lalu dari mana datanya, ya tentu saja ada di Kementerian Sosial,

Hal serupa juga disampaikan oleh pengamat transportasi Deddy Herlambang. Dia menilai masalah tarif ini ironis. Jika memang diterapkan, ini baru ada di Indonesia.

Deddy menyebut langkah yang tepat adalah subsidi tepat sasaran. Bagi mereka yang tidak mampu dalam kategori gaji atau umr di bawah standar, mereka memerlukan subsidi. “Subsidi itu jelas datanya. Misal, kalau tidak mampu bayar tiket kereta silakan mendaftar ke RT/RW setempat baru diverifikasi ke Kementerian Perhubungan,” ucap dia.

Intinya adalah, menurut penulis Pemerintah jangan hanya cari cara mudah untuk bisa menghemat subsidi atau ingin segera melakukan subsidi tepat sasaran. Di hati yang paling dalam, penulis mengerti dengan alasan perbedaan skema tarif ini, karena memang selayaknya subdisi harus bisa diberikan kepada mereka yang layak.

Hanya saja, dengan cara menerbitkan kartu baru, studi kelayakan hingga survei dan sebagainya, bukankah akan menambah biaya dan beban negara. Ada baiknya, justru lebih mudah dengan menggerakan mereka yang berpenghasilan rendah menuju ke RT/RW masing-masing untuk mendaftarkan diri. Setelahnya, data tersebut bisa direvifikasi pihak Kemenhub.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement