Ahad 08 Jan 2023 13:45 WIB

Kala Para Perampok Bertobat dan Yahudi Bersyahadat di Hadapan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Syekh Abdul Qadir al-Jailani disegani berbagai kalangan dari perampok hingga Yahudi

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi halaqah ilmu. Syekh Abdul Qadir al-Jailani disegani berbagai kalangan dari perampok hingga Yahudi
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi halaqah ilmu. Syekh Abdul Qadir al-Jailani disegani berbagai kalangan dari perampok hingga Yahudi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pada 1095, Imam al-Ghazali meletakkan jabatan rektor Madrasah Nizhamiyah Baghdad. Keputusan sang Hujjatul Islam itu bukan tanpa alasan. 

Seperti dijelaskan Dr Majid Irsan al-Kilani dalam Hakadza Zhahara Jil Shalahuddin wa Hakadza 'Aadatil Quds (1985), al-Ghazali merasa, betapa dalam degradasi kaum intelektual Seljuk saat itu. 

Baca Juga

Ia pun undur diri dari universitas tersebut dan menjadi seorang sufi kelana. Selama 10 tahun, murid al-Juwaini itu mengembara ke Syam dan Hijaz, lalu kembali pada kampung halamannya di Thus.  

Pada tahun yang sama, Syekh Abdul Qadir al-Jailani muda tiba di Baghdad. Langkah kakinya terhenti di Madrasah Nizhamiyah setempat karena ingin belajar di sana. Sepeninggalan sang Hujjatul Islam, lembaga pendidikan tinggi itu dipimpin Abu Hamid Ahmad.

Ternyata, saudara Imam al-Ghazali itu tidak mau menerima seorang calon murid pun yang bermazhab non-Syafii. Maka, Abdul Qadir gagal menimba ilmu di sana. 

Walaupun getir, penolakan Ahmad membawa hikmah tersendiri. Hari-hari Syekh Abdul Qadir terus diisi dengan banyak bertafakur dan khalwat. 

Di samping itu, ia leluasa mengikuti majelis ushul dan fikih mazhab Hanbali yang diselenggarakan sejumlah guru di pinggiran Baghdad, semisal Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husain al-Farra', atau Abu Sa'ad al-Muharrimi. 

Sosok yang tersebut paling akhir itu membangun sebuah madrasah sederhana di Babul Azaj. Selanjutnya, pengurusan lembaga itu diserahkan kepada Syekh Abdul Qadir. 

Selain mengajar, lelaki Kurdi itu juga menetap di sana. Dari tahun ke tahun, jumlah santrinya kian bertambah. Bahkan, bangunan madrasah Babul Azaj tidak lagi sanggup menampung mereka. 

Maka, para sahabat dan kaum Muslimin yang bersimpati dengannya membesarkan kompleks majelis ilmu itu. Pada akhirnya, tempat itu dikenal sebagai Madrasah Qadiriyah. 

Syekh Abdul Qadir menjadi populer karena metode dakwah dan pengajaran yang dilakukannya menyentuh hati. 

Majelisnya tidak hanya dihadiri para murid, tetapi juga kawanan penjahat, perampok, pembunuh, dan para pelaku kriminal lainnya. 

Mereka bertobat setelah mendengarkan nasihat-nasihatnya. Ratusan orang Kristen dan Yahudi juga masuk Islam karena tergugah dakwahnya. 

Sang syekh tidak hanya ahli dalam hal tasawuf, tetapi juga ilmu tata bahasa Arab, sastra, balaghah, fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir Alquran. 

Dalam membimbing para santri, Syekh Abdul Qadir tidak hanya menasihati secara lisan. Ia pun menunjukkan keteladanan sehari-hari. 

Sejak masih belia, dirinya sudah terlatih untuk bersungguh-sungguh (mujahadah) dalam menuntut ilmu-ilmu Islam. Sering kali ia berpuasa. 

Pantang meminta-minta kepada orang lain meskipun sudah berhari-hari tanpa makanan. Sebelum memiliki madrasah sendiri, alim tersebut sering kali mengarungi panas dan dinginnya udara gurun di Irak.

Maka, di Babul Azaj, berbondong-bondong masyarakat mendatanginya untuk memperoleh ilmu dan hikmah. Rutinitas sang ulama nyaris tidak mengenal istirahat. Sejak siang hingga malam hari, dirinya menggelar pengajian. 

Baca juga: Al-Fatihah Giring Sang Ateis Stijn Ledegen Jadi Mualaf: Islam Agama Paling Murni

Topik-topik yang dibahasnya meliputi banyak bidang, seperti tafsir Alquran, hadis, fikih, usul fikih, dan sebagainya. 

Menjelang azan Maghrib, dirinya membagi-bagikan roti kepada fakir miskin. Lantas, ia berbuka puasa. Usai sholat Isya, dai yang zuhud itu tidur sejenak, lalu bangun pada sepertiga malam untuk bermunajat kepada-Nya.

Hidup Syekh Abdul Qadir selalu berfokus pada ibadah. Seorang penulis manakib, adz-Dzahabi menu kil perkataan ulama-sufi tersebut, Allah Ta'ala telah menjagaku pada waktu diriku kecil, membatasi ke senanganku hanya pada ilmu. 

“Aku tidak pernah ber main-main dan tidak bergaul kecuali dengan teman-teman yang senang menuntut ilmu. Kini, usiaku 80 tahun, tetapi justru semakin tamak kepada ilmu."  

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement