Selasa 10 Jan 2023 05:19 WIB

4 Syarat yang Disodorkan Imam Al-Ghazali Sebagai Syarat Tobat Diterima

Allah SWT hanya akan menerima tobat yang dilakukan secara tulus

Rep: Fuji E Permana / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi tobat. Allah SWT hanya akan menerima tobat yang dilakukan secara tulus
Foto: Thoudy Badai/Republika
Ilustrasi tobat. Allah SWT hanya akan menerima tobat yang dilakukan secara tulus

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terdapat empat syarat tobat menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Minhaj al-Abidin. Jika keempat syarat tobat itu telah diamalkan maka tobatnya benar. 

Imam Al-Ghazali berkata, “Jika Anda bertanya apakah makna tobat nasuha itu, apa batasannya, dan  apa yang harus dilakukan seorang hamba agar ia terbebas dari semua dosanya. 

Baca Juga

Maka kami menjawab tobat adalah salah satu tindakan hati. Seperti dikatakan oleh para ulama, tobat adalah membersihkan hati dari perbuatan dosa. 

Guru kami mendefinisikan tobat sebagai menjauhkan diri dari perbuatan dosa setelah mengetahui keagungan dan kemuliaan Allah SWT dan karena takut mendapat murka dan hukuman Allah SWT.” 

Lebih lanjut, Imam Ghazali menyebutkan empat syarat tobat, pertama berusaha untuk tidak melakukan dosa lagi. 

Ia yang bertobat mengikat hatinya kuat-kuat dan menanggalkan keinginannya bahwa ia tidak akan kembali kepada dosa tersebut sama sekali.

Jika ia meninggalkan dosa itu, tapi dalam hatinya masih ada sedikit keinginan untuk mengerjakan perbuatan dosa lagi suatu hari atau dia tidak berkeinginan keras untuk meninggalkannya, maka berarti ia tidak bertobat dari dosa tersebut. 

Kedua, ia bertobat dari dosa yang pernah ia lakukan sebelumnya, sebab jika ia belum pernah melakukan dosa tersebut maka berarti ia menjaga diri darinya, bukan bertobat. 

Sebagai contoh, kalau dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa menjaga diri dari tindakan kekufuran adalah benar, sebaliknya tidak benar jika dikatakan bahwa beliau bertobat dari kekufuran, sebab beliau belum pernah melakukan kekufuran dalam keadaan apapun. 

Sedangkan Umar Bin Khattab radhiyallahu anhu dapat disebut seorang yang bertobat dari kekufuran karena ia pernah mengalami hidup dalam kekufuran. 

Ketiga, dosa yang disesali oleh seorang hamba sekarang adalah memiliki kedudukan dan derajat yang sama dengan dosa yang pernah ia kerjakan di masa lalu dan ingin dia tinggalkan. 

Misalnya ada seorang lanjut usia (lansia) yang dulunya pernah berbuat zina dan mencuri, ia pasti bisa bertobat saat kuat dulu, jika ia memang menginginkannya. 

Namun sekarang di saat ia sudah tua renta, ia sudah tidak punya pilihan lagi untuk melakukan perbuatan maksiat tersebut. Pada akhirnya ia bertobat karena memang sudah tidak sanggup melakukan kedua perbuatan itu, yakni zina dan mencuri.

Pintu tobat memang belum tertutup bagi orang tua renta itu selagi madih hidup di dunia, hanya saja tobat baginya bukan lagi yang meninggalkan zina dan mencuri yang memang sudah tidak bisa dilakukannya lagi. 

Baca juga: Al-Fatihah Giring Sang Ateis Stijn Ledegen Jadi Mualaf: Islam Agama Paling Murni

 

Tapi dengan meninggalkan dosa yang sama kedudukan dan derajatnya dengan zina dan mencuri, seperti berdusta, menuduh orang lain berzina, melakukan ghibah dan menebar fitnah. 

Semua itu adalah tindak kemaksiatan sekalipun bobotnya berbeda-beda dan orang tua itu masih bisa untuk memilih tidak melakukan perbuatan maksiat itu sebagai tobat kepada Allah SWT dari perbuatan zina dan mencuri di masa mudanya dulu.

Keempat, bahwa tobat itu dilakukan semata-mata untuk mengagungkan Allah Azza Wa Jalla dan menghindari kemurkaan serta siksaan-Nya yang pedih, tobatnya murni demikian bukan karena keinginan duniawi dan rasa takut kepada manusia, juga bukan karena mencari pujian orang lain, mencari nama, kedudukan atau karena kelemahan nafsunya. 

Jika keempat syarat itu telah diamalkan maka tobatnya benar. Hal ini dijelaskan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Minhaj al-Abidin yang diterjemahkan Abu Hamas As-Sasaky dan diterbitkan Khatulistiwa Press 2013.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement