IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII DPR bersama Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Ditjen PHU) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas perihal penyelenggaraan haji dan umroh, Kamis (30/3/2023). Salah satu yang dibahas dalam rapat ini adalah perihal haji mujamalah atau furoda.
Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang menyebut dalam UU yang ada tidak mengakomodir perihal visa mujamalah atau furoda. Yang ada hanya perihal visa haji reguler dan haji khusus.
Namun, yang terjadi di lapangan pelaksanaan haji menggunakan banyak yang menggunakan visa furoda. Karena itu, ia mempertanyakan apa upaya yang dilakukan Ditjen PHU sebelum merevisi UU Haji yang ada.
"UU kita hanya mengakomodir visa reguler dan haji khusus. Tapi nyatanya berjalan visa mujamalah ini. Mujamalah pun variannya ini luar biasa," ujar dia dalam rapat tersebut.
Ia juga menyebut ada beragam cara yang dilakukan travel dalam memberangkatkan jamaah haji melalui jalur visa ini. Salah satunya dengan mematok harga tinggi, misal 9.000 dolar, yang kemudian jika visanya belum keluar mereka meminta tambahan biaya kepada calon jamaah dan berujung tidak ada visa yang keluar.
"Suatu saat ini akan jadi bom waktu. Semua orang ingin berangkat haji, daftar tunggunya panjang. Nah, ini ada kesempatan," kata Marwan.
Ia pun menyebut keinginannya agar muncul peraturan dari Kementerian Agama (Kemenag) terkait hal ini, sebelum muncul Undang-Undang baru yang mengaturnya. Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan menyebut dalam bayangannya, kepastian visa haji furoda ini minimal bisa didapat menjelang bulan puasa. Pengumuman perihal visa furoda ini diharapkan bisa dilakukan sebagaimana haji reguler.
"Bahwa pemerintah Indonesia mendapat kuota haji furoda sekian dan bisa didistribusikan ke travel haji khusus. Tapi kenyataannya ini tidak bisa, karena itu kewenangan dari pemerintah Saudi sendiri," kata dia.
Selanjutnya, ia mempertanyakan bagaimana perlindungan dari Kemenag untuk jamaah yang diberikan harapan untuk melakukan haji dengan visa furoda. Perihal haji furoda ini disebut akan selalu menjadi masalah bagi proses penyelenggaraan haji Indonesia. Sehingga, diperlukan penyelesaian yang serius dari Kemenag terkait hal ini.
"Bagi rakyat Indonesia, ini bisa menjadi masalah serius, menjadi bom waktu. Banyak travel yang ke daerah-daerah dan menawarkan bisa berangkat asal bayar Rp 300 juta, Rp 400 juta, dan Rp 500 juta. Ini nggak bener, padahal belum ada kepastian apapun dari Saudi. Celah itu yang dimanfaatkan," ujar Ace.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Dirjen PHU) Kementerian Agama Hilman Latief menyebut visa untuk haji ada dua, yaitu visa haji dan visa mujamalah atau furoda. Visa haji ini merupakan visa untuk kuota haji yang diberikan Saudi kepada pemerintah Indonesia, yaitu haji reguler dan haji khusus.
"Dalam pelaksanaannya, orang-orang yang berhaji ini tidak hanya menggunakan diua visa itu. Ada juga yang melalui visa amil atau visa pekerja. Jadi, yang penting mereka masuk ke Saudi dulu baru membeli tasreh untuk layanan Masyair," ujar dia.
Berdasarkan pengalaman yang ada, ia menyebut banyak kejadian calon jamaah tinggal di bandara untuk menunggu visa. Namun upaya ini berakhir gagal karena tidak ada visa yang keluar.
Hilman juga menyebut, ada dorongan dari berbagai pihak agar Kemenag mengeluarkan surat ke Duta Besar (Dubes) Kerajaan Arab Saudi di Indonesia. Surat ini diharapkan dapat membantu mengakselerasi dan memfasilitasi keluarnya visa mujamalah.
"Kami sudah berkordinasi dengan Dubes Saudi. Kata-kata yang kami terima, 'Anda tidak ada urusan dengan visa ini. Anda hanya berurusan dengan visa haji yang mitranya Kementerian Haji'," lanjut dia.
Secara resmi, Hilman menyebut Kemenag telah menyampaikan keinginan kepada Saudi atas tata kelola yang lebih baik dan terbuka untuk visa furoda. Keberadaan visa ini jangan sampai menimbulkan banyak kerugian bagi jamaah Indonesia.
Ia pun menyebut akan mengintensifkan perihal visa furoda ini dengan Kementerian Luar Neger (Kemenlu). Lintas kementerian ini disebut perlu, mengingat domain urusan Dubes ini berada di Kemenlu.
"Kami sudah sampaikan ini urusan Kemenlu dan mudah-mudahan bisa disambungkan orang yang punya hak mengeluarkan visa ini dengan otoritas kita, yang secara lgsung berhubungan," ucap Hilman.