IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), KH Mahbub Maafi menyampaikan pandangannya soal hukum memberangkatkan atau membiayai orang lain untuk melaksanakan umroh maupun haji sedangkan dirinya belum melaksanakan itu.
Kiai Mahbub menjelaskan, pada prinsipnya, memberangkatkan atau membiayai orang lain untuk melaksanakan haji ataupun umroh adalah perbuatan yang baik. Meski demikian, menurut Kiai Mahbub, masalahnya kemudian adalah ketika orang yang memberangkatkan tersebut belum pernah melaksanakan ibadah itu sendiri, baik haji maupun umroh.
Misalnya haji, ini adalah ibadah yang diwajibkan bagi Muslim yang telah mampu melaksanakannya, sesuai ketentuan syariat. Terlebih haji merupakan salah satu rukun Islam.
Menukil dari kitab Al-Asybah wan Nazho'ir karya Jalaluddin As-Suyuthi, ada kaidah fiqih yang menyatakan, "Mendahulukan pihak lain dalam persoalan ibadah adalah makruh."
Meski yang diberangkatkan adalah orang tuanya sendiri, tetapi anak yang membiayainya belum pernah menunaikan ibadah haji, maka berdasarkan kaidah tersebut, perbuatan itu menjadi makruh hukumnya.
"Karena dalam perkara ibadah, seorang Muslim itu harus mendahulukan dirinya," jelas Kiai Mahbub, kepada Republika.co.id, Sabtu (20/5/2023).
Hal tersebut juga berlaku pada konteks di mana seorang Muslim memberangkatkan orang lain untuk melaksanakan umroh. Karena umroh adalah bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Dengan demikian, memberangkatkan atau membiayai orang lain termasuk orang tuanya sendiri untuk beribadah umroh, sedangkan dirinya sendiri belum pernah umroh, maka hukumnya adalah makruh.
Karena hukumnya makruh, Kiai Mahbub menyarankan untuk tidak melakukannya. Alangkah lebih baik menurutnya, untuk mendahulukan diri dalam melaksanakan ibadah haji jika memang belum pernah berhaji.
Bila belum pernah umroh, maka juga dahulukan diri untuk melakukan ibadah umroh. Setelah itu, silakan mengumrohkan atau menghajikan orang lain. Bisa dengan menghajikan atau mengumrohkan orang tua.
Menukil pandangan Syekh Izzuddin Abdus Salam, Kiai Mahbub menekankan, tidak bolehnya mendahulukan orang lain untuk perkara ibadah karena ibadah adalah untuk mengagungkan Allah SWT.
Jadi, lanjut Kiai Mahbub, kalau dalam perkara ibadah ini ada orang yang mendahulukan orang lain padahal dirinya butuh itu, berarti patut dipertanyakan mengapa ia abai dalam mengagungkan Allah SWT.
Kecuali dalam perkara non ibadah, seorang Muslim boleh mendahulukan orang lain. Misalnya saat seseorang memasuki kereta bersama dengan ibu yang sedang hamil, lalu ada bangku kosong di hadapannya, maka ini sudah semestinya mendahulukan ibu hamil itu untuk duduk.
Mendahulukan orang lain dalam perkara non ibadah didasarkan pada Surat Al Hasyr ayat 9:
"...Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung."