IHRAM.CO.ID, TELAVIV -- Israel dan Arab Saudi tengah terlibat dalam negosiasi "lanjutan" yang ditengahi AS. Pembicaraan ini salah satunya membahas kemungkinan penerbangan langsung ke Jeddah, untuk membantu Muslim Israel melakukan ibadah haji segera.
Media massa harian Maariv pertama kali melaporkan bahwa terobosan dalam pembicaraan lanjutan ini kemungkinan terjadi pada Jumat (19/5/2023) lalu. Kemudian, beberapa media mengutip seorang pejabat senior Israel yang memperkirakan ada kemungkinan 60 persen keberhasilan langkah tersebut akan diumumkan bulan depan.
Ibadah haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi semua umat Islam yang mampu secara fisik dan finansial. Ziarah tahun ini dijadwalkan berlangsung dari 26 Juni hingga 1 Juli.
Saat ini Arab Saudi menerima peziarah Muslim yang datang dari Israel ke Makkah. Namun, Kerajaan mengharuskan mereka melakukan perjalanan melalui negara ketiga, yang mana meningkatkan biaya perjalanan yang sudah mahal.
Menurut Maariv, sebanyak 2.700 orang Israel memulai ziarah pada 2022. Untuk tahun ini, angka tersebut diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat menjadi 4.500 jamaah haji.
Dalam langkah bersejarah tahun lalu, Arab Saudi mengumumkan membuka wilayah udaranya untuk semua penerbangan sipil, beberapa jam sebelum Presiden AS Joe Biden menjadi pemimpin AS pertama yang terbang langsung dari Israel ke negara Teluk. Namun harapan pada saat itu Riyadh juga akan mengumumkan persetujuan penerbangan haji langsung tidak terwujud.
Menteri Luar Negeri Eli Cohen menggembar-gemborkan kemungkinan normalisasi dengan Arab Saudi dalam waktu enam bulan, selama wawancara dengan Meet the Press di Channel 12, Sabtu (20/5/2023).
“Ada peluang bagus kita bisa memajukan perjanjian damai dengan Arab Saudi. Saya berasumsi pasti ada peluang dalam setengah tahun, atau di tahun mendatang,” ujar dia dikutip di Times of Israel, Senin (22/5/2023).
Cohen mengutip kepentingan bersama Yerusalem dan Riyadh, terutama mencegah Iran membuat bom nuklir, sebagai alasan untuk mengharapkan kesepakatan.
Terlepas dari optimisme untuk menumbuhkan hubungan di kawasan itu, tetangga Arab Israel telah mengirim sinyal lain. Mereka mengungkapkan ketidakpuasan yang parah terhadap pemerintah garis keras baru Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, atas anggota sayap kanannya dan kebijakan antagonis terhadap Palestina.
Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman menekankan komitmennya untuk negara Palestina di KTT Liga Arab. Ia menyebut hal ini sebagai masalah utama bagi negara-negara Arab dan menjadi prioritas utama Kerajaan.
Komentar tersebut sebagian besar merupakan standar untuk kepemimpinan di Riyadh. Kerajaan telah lama bersikeras secara terbuka, bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk perjuangan Palestina dan hanya akan menormalkan hubungan dengan Israel setelah solusi dua negara tercapai.
Keputusan Arab Saudi pada bulan Maret untuk memperbarui hubungan dengan Iran setelah lebih dari setengah dekade juga dilihat beberapa orang sebagai kemunduran normalisasi antara kerajaan dan Israel.
Meski demikian, hal ini tidak menghentikan pemerintahan Biden untuk bekerja mencapai kesepakatan antara Yerusalem dan Riyadh. Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan awal bulan ini menyebutnya sebagai kepentingan keamanan nasional.
Seorang diplomat senior Timur Tengah, yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa upaya pemerintah Netanyahu telah mempertahankan Abraham Accords, apalagi memperluasnya untuk memasukkan Arab Saudi, menjadi sangat sulit.
Meski demikian, Arab Saudi bersedia menyebutkan 'harganya' untuk normalisasi dengan Israel dalam pembicaraan dengan pejabat Biden. Seorang diplomat senior mengatakan Riyadh telah meminta Washington untuk menyetujui program nuklir sipil dengan imbalan normalisasi dengan Israel.
Program itu merupakan salah satu di antara beberapa tuntutan yang diajukan Riyadh dalam pembicaraan dengan pemerintahan Biden selama setahun terakhir. Diplomat itu juga mengklarifikasi bahwa kesepakatan semacam itu masih sangat jauh.
Sumber: