IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Berhaji hukumnya adalah wajib bagi mereka yang mampu (istithaah), baik secara fisik, keilmuan, maupun finansial. Cara ataupun jalan mendapatkan kemampuan finansial untuk ongkos haji pun harus diperhatikan. Dalam hal ini, bagaimana jika diperoleh dari arisan haji?
KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal menjelaskan, arisan hukumnya boleh dengan catatan tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak ada spekulatif yang berbuntut judi. Kebolehan itu bisa saja berubah haram jika ada sesuatu yang menjadikannya haram, yaitu hilangnya ketentuan-ketentuan tersebut.
Demikian pula, kata Kiai Ali, mengenai arisan haji. Pada dasarnya, arisan itu dihukumi boleh dengan asumsi untuk intervensi. Tapi ketika dikaitkan dengan ibadah haji, maka hukumnya menjadi lain. Seorang Muslim baru dikenakan wajib haji ketika ia mampu menunaikannya.
Dan kemampuan (istitha’ah) ini berarti mampu bi nafsihi, yakni ongkos hajinya berasal dari diri sendiri dengan hasil usaha yang dihalalkan agama. Juga bisa berarti mampu bi ghairihi yakni ongkos naik hajinya ditanggung orang lain. Sedangkan bila istitha’ah tidak ada, maka kewajiban haji pun tidak ada.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih, “Al-hukmu yaduru ma’a illati wujudan wa adaman." Yang artinya, “Hukum itu berputar bersamaan dengan ada dan tidaknya illat." Di samping itu Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 97, “Walillahi alannasi hijjul-baiti manistatha’a ilaihi sabilan." Yang artinya, “Hanya karena Allah, mengerjakan haji itu wajib atas menusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah."
Dalam hadits riwayat Ad-Daruquthni yang disahihkan Al-Hakim, dikatakan bahwa sanggup di sini berarti adanya bekal dan kendaraan. Dari uraian tersebut, kata Kiai Ali, kewajiban haji hanya berlaku bagi orang yang sanggup membayar ongkos naik haji. Maka seorang Muslim yang memaksakan dirinya untuk menunaikan haji, padahal ia tidak mampu bayar, misalnya dengan cara mengikuti arisan haji dan ia mendapatkan uang arisan pada putaran-putaran awal, maka hukumnya minimal makruh bahkan bisa haram.
Sebab, kata Kiai Ali, ongkos hajinya itu berasal dari uang yang dipinjamkan oleh anggota arisan lainnya. Jadi ia berangkat haji dengan berutang. Sementara ia sendiri belum terkena khitab wajib haji.
Berbeda halnya andai saja dari arisan haji itu tidak digunakannya untuk ongkos naik haji, misalnya biaya hajinya diperoleh dari usaha halal lainnya. Maka ia sudah dikategorikan mampu dan dikenakan wajib haji. Adapun wewenang terakhir dari anggota arisan yang ada, maka ia sudah wajib menjalankan ibadah haji karena ongkos naik hajinya diperoleh dari hasil tabungannya selama satu putaran arisan itu.
Dan maka ia sudah dikategorikan sebagai orang yang termasuk mampu, sebab ongkos naik hajinya yang dipakai berasal dari dirinya sendiri, bukan dari piutang. Demikianlah fleksibelitas sekaligus ketegasan hukum Islam dalam menjawab problematika fikih mengenai arisan haji.
Kiai Ali memberikan penekanan bahwa pintu surga selalu terbuka bagi orang yang ikhlas melakukan ibadah apa saja. Tidak terbatas pada ibadah haji semata. Bahkan menyantuni anak yatim dan fakir miskin lebih utama dari ibadah haji kedua, ketiga, dan seterusnya. Sehingga lebih baik apabila melakukan ibadah yang lebih utama dari menjalankan ibadah haji kedua, ketiga, dan seterusnya tersebut.