Selasa 02 Jun 2020 17:28 WIB

Apa Social Distancing Selama Pandemi Picu Kasus Bunuh Diri?

Statistik justru menunjukkan adanya penurunan percobaan bunuh diri selama pandemi.

Depresi. Ilustrasi
Foto: Sciencealert
Depresi. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada awal Maret, ketika wabah corona sampai ke Eropa dan social distancing serta lockdown diterapkan, para pakar kesehatan mental memperingatkan bahwa konsekuensinya bisa mematikan. Kombinasi isolasi yang dipaksakan, peningkatan kecemasan, kekhawatiran keuangan, dan berkurangnya akses ke terapi dapat membuat orang menderita sendirian.

Banyak ahli khawatir ini dapat menyebabkan kenaikan angka bunuh diri di Jerman.

Baca Juga

Pada akhir April, serikat pemadam kebakaran Jerman mengatakan kepada Business Insider bahwa responden darurat menghadapi lebih banyak kasus percobaan bunuh diri. Temuan ini menemukan catatan bunuh diri yang mengungkap kekhawatiran akan infeksi virus corona - meskipun mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki angka resmi.

Tapi sekarang statistik resmi awal untuk Jerman justru menunjukkan pengurangan angka bunuh diri selama wabah corona. Antara 9.000 dan 10.000 orang melakukan bunuh diri di Jerman setiap tahunnya.

photo
Berdekatan dengan alam membantu kesehatan mental manusia secara positif. - (EPA)

Mencari bantuan online?

Pada awal Mei 2020, harian Augsburger Allgemeine melakukan survei terhadap tujuh negara Jerman yang memiliki statistik angka bunuh diri. Dari survei itu menemukan bahwa angka tersebut sebenarnya turun 20 persen sejak lockdown dimulai dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Sulit untuk menjelaskannya dengan tidak adanya penelitian empiris, kata Thomas Voigt, wakil ketua Deutsche Depressionsliga ("Liga Depresi Jerman"), yang menyediakan bantuan jarak jauh dan online untuk orang-orang yang mengalami depresi.

"Tetapi saya dapat mengatakan bahwa sejak krisis corona, permintaan [untuk layanan bantuan mental online] telah menurun secara signifikan," katanya kepada DW.

"Itu sebuah paradoks."

Terapi online jarak jauh juga mungkin bukan solusi bagi sebagian orang, katanya. "Tentu saja sulit untuk mempertahankan terapi karena social distancing," kata Voigt.

"Orang dengan depresi sering membutuhkan kontak manusia. Mereka tidak mau duduk di depan mesin."

Dalam sebuah pernyataan yang ditulis saat pandemi dimulai, Ulrich Hegerl, ketua yayasan Jerman, Deutsche Depressionshilfe (DDH), berhati-hati untuk membedakan antara peningkatan kecemasan secara umum yang dirasakan dalam situasi tertentu dan depresi.

"Bunuh diri ... disebabkan dalam 90 persen kasus oleh pandangan dunia yang terdistorsi secara negatif akibat depresi dan penyakit kejiwaan lainnya," tulisnya.

"Depresi, yang sejauh ini merupakan penyebab bunuh diri yang paling sering, adalah penyakit independen, dan bukan reaksi terhadap keadaan yang sulit."

Hegerl memperingatkan bahwa pembatasan jarak sosial meminimalisir kemungkinan teman atau kerabat mengenali ketika seseorang beresiko melakukan bunuh diri dan dapat mengatur bantuan profesional.

"Memang benar bahwa situasi dukungan telah memburuk, dan semakin sedikit orang yang datang ke terapi, karena ketakutan berlebihan, atau karena mereka pikir layanan medis tidak menginginkannya karena mereka hanya merawat pasien corona. Banyak orang dengan depresi cenderung memiliki perasaan bersalah, "kata Hegerl kepada DW.

"Bagi saya, belum ada angka yang cukup untuk mengatakan sesuatu yang pasti tentang tingkat bunuh diri."

photo
Berpegangan tangan dapat mempererat hubungan, menenangkan kecemasan, hingga mengurangi stres dan rasa sakit (Foto: pasangan berpegangan tangan) - (Flickr)

Kecemasan dan ketakutan diperburuk

Sementara mereka yang sudah menderita depresi mungkin tidak mencari bantuan lebih dari biasanya, tampaknya ada sedikit keraguan bahwa pandemi memiliki dampak umum pada kesehatan mental. Beberapa survei di seluruh dunia telah menunjukkan ini.

Di AS, misalnya, Kaiser Family Foundation menemukan pada akhir Maret bahwa 45 persen orang dewasa percaya pandemi telah memengaruhi kesehatan mental mereka, dan 19 persen mengatakan itu memiliki "dampak besar." Sementara itu, Disaster Distress Helplines di AS menyaksikan panggilan dari Februari hingga Maret meningkat lebih dari 300 persen.

Di Jerman, 3.545 orang mengajukan diri secara sukarela untuk survei oleh sekolah kedokteran Hannover (MHH). Survei berfokus pada dua minggu pertama bulan April, ketika langkah-langkah lockdown paling drastis diterapkan di Jerman. Survei menemukan bahwa 50,9 persen mengatakan mereka menjadi lebih mudah marah dan 29 persen merasa lebih marah dan lebih agresif.

Sebuah survei yang diterbitkan pada awal Mei oleh Universitas Danube Krems di Austria menemukan angka yang lebih mengkhawatirkan: Proporsi orang Austria dengan "gejala depresi" telah meningkat dari sekitar 4 persen menjadi lebih dari 20 persen. Sementara mereka yang "gejala ketakutan" telah naik dari sekitar 5 persen hingga 19 persen.

Profesor kedokteran psikosomatik Christoph Pieh, yang ikut menulis studi Krems, percaya bahwa risiko bunuh diri telah meningkat di Austria, meskipun tidak tampak pada angka yang dirilis oleh negara tetangga Jerman. Pieh juga skeptis karena selalu ada banyak kasus bunuh diri yang tidak diketahui.

"Sudah pasti ada peningkatan dalam sindrom depresi di Austria," kata Pieh kepada DW.

Bahaya data yang tidak akurat

Hauke ​​Wiegand, dokter psikiatri dan psikoterapi di Universitätsmedizin Mainz, juga memperingatkan bahwa semua survei dan angka-angka yang keluar sekarang hanya menunjukkan wawasan singkat dari periode waktu yang singkat. Namun, ia juga memperhatikan penurunan jumlah pasien dengan depresi berat dan kecemasan yang datang ke kliniknya selama pandemi, sementara jumlah orang yang menderita skizofrenia, misalnya, tetap kurang lebih sama.

Tetapi Wiegand memiliki poin lain: Sejarah menunjukkan tingkat bunuh diri selalu naik selama depresi ekonomi - dengan faktor risiko utama adalah "pengangguran dan tekanan finansial. Menurut dia, masih terlalu dini untuk mengatakan apakah ini terjadi sekarang. Menyusul krisis keuangan 2008, katanya, "di AS setiap kenaikan satu persen dalam tingkat pengangguran disertai dengan kenaikan satu persen dalam tingkat bunuh diri."

"Kami melihat hal yang sama di Yunani menyusul pengetatan anggaran," Wiegand menambahkan.

Dia menunjukkan ini tidak terjadi di negara-negara dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

Statistik juga mendukung hal ini. Penelitian di tahun 2014 oleh Portsmouth University di Inggris menemukan bahwa setiap 1 persen pemotongan anggaran belanja di Yunani berbarengan dengan peningkatan bunuh diri di kalangan pria sebesar 0,43 persen.

Sementara itu, Wiegand juga memperhatikan adanya efek balasan. Dia sedang mengerjakan survei yang belum dipublikasikan oleh Leibniz Institut für Resilienzforschung Mainz. Hasil awal menunjukkan bahwa banyak orang sebenarnya merasa stress berkurang saat penerapan lockdown.

"Mereka telah mengurangi waktu kerja, mereka mungkin tidak harus pergi bekerja, mereka memiliki lebih banyak waktu dengan keluarga mereka, yang mengurangi tingkat stres secara keseluruhan selama pekerjaan mereka aman," tambah Wiegand.

 

sumber: https://www.dw.com/id/beranda/iptek/s-11580

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement