Selasa 29 Jun 2021 21:33 WIB

Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Difabel

Tuntunan Memperlakukan Difabel dalam Islam.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Difabel. Foto: Penyandang difabel (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Difabel. Foto: Penyandang difabel (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ali Yusuf mengatakan, ada tiga dasar tuntunan dalam memperlakukan penyandang disabilitas.

"Ada tiga dasar dalam memperlakukan difabel. Pertama, al-qiyam al-asasiyyah, nilai dasar tauhid. Bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas berdasarkan tauhid. Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dengan sebenarnya ciptaan. Penyandang difabel dan yang non-difabel harus memahami, bahwa terjadinya difabel bukan karena keinginan dirinya, tapi ada hal lain," kata Ali Yusuf pada Selasa (29/6).

Baca Juga

Dia melanjutkan, dasar yang kedua yakni al-ushul al-kulliyah. Prinsip-prinsip umum bahwa manusia diciptakan memiliki kemuliaan. Harus ada kesadaran dalam diri setiap manusia, bahwa bagaimanapun kondisinya mereka memiliki martabat yang serupa.

Ali mengatakan, pada hakikatnya semua manusia sama, dan yang paling unggul yakni nilai ketakwaannya. Ada prinsip keterbukaan, tanpa membedakan agama, suku, ras dan bentuk rupa. Tidak boleh ada yang membedakan, karena semua manusia diciptakan sama.

Dalam surat Al Hujurat ayat 11 disebutkan,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim".

"Ketiga yakni cara memandang, memperlakukan dengan pedoman praktis, harus memahami dia punya hak, ada hak asasi manusia, ada juga hak difabel. Ada hak hidup, bermartabat, dan pengembangan riset teknologi," ucap Ali.

Dia mengatakan, difabel juga dapat beraktifitas seperti manusia lainnya. Untuk itu mereka perlu didukung dengan alat penunjang agar penyandang disabilitas seluruhnya mendapatkan kesempatan.

Di samping itu, orang-orang juga tidak diperbolehkan memberikan stigma negatif kepada difabel. Kalimat 'orang cacat' bahkan hingga menyatakan mereka tidak berguna itu tidak boleh disematkan. Hal ini sama saja dengan menganggap Sang Pencipta, Allah, cacat dalam menciptakan sesuatu.

"Itu menyakiti mereka. Mereka tidak ingin seperti itu. Namun masih ada sebagian orang dengan stigma-stigma itu. Itu harus dihindari," kata dia.

Di samping itu, menurut Ali, dalam keluarga dan masyarakat harus memegang nilai tauhid, tidak boleh malu jika memiliki anggota keluarga yang difabel. Apabila keluarga merasa malu, akhirnya mereka tidak disekolahkan, dan tidak memiliki kesempatan untuk berkembang.

"Padahal semua orang mempunyai potensi dan peran termasuk menggali potensi yang tersimpan. Bukan berarti tidak mempunyai kemampuan, harus diperhatikan dengan memberikan kesempatan berekspresi untuk mengembangkan kemampuan," ucap Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement