Rabu 01 Dec 2021 11:37 WIB

Patung Unta Saudi Lebih Tua dari Stonehenge

Patung unta ini jauh lebih tua dari yang diperkirakan sebelumnya.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Esthi Maharani
Karya patung unta di Saudi yang diyakini lebih tua dari Piramida Giza.
Foto: M. Guagnin & G. Charloux via smithsonianmag
Karya patung unta di Saudi yang diyakini lebih tua dari Piramida Giza.

IHRAM.CO.ID, RIYADH -- Serangkaian patung dari batu berbentuk unta raksasa ditemukan di provinsi barat laut Al-Jawf, 2018 lalu. Penemuan yang dilakukan oleh arkeolog ini seolah membuka kisah khusus dalam prasejarah Arab Saudi.

Hasil penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Archaeological Science awal bulan September ini, diperkirakan patung-patung itu bisa berusia antara 7.000 hingga 8.000 tahun. Patung batu kuno Arab Saudi berfungsi sebagai pengingat waktu di masa lampau, ketika wilayah gurun yang kita kenal sekarang sebagian besarnya terdiri dari danau dan padang rumput.

Baca Juga

Ekosistem yang subur, ditopang oleh curah hujan yang berlebihan yang diterimanya selama zaman Holosen, menjadikannya sebagai rumah bagi nenek moyang manusia dan satwa liar yang kemiripannya mereka ukir di sisi tebing.

Semula, mengingat para arkeolog tidak dapat mendeteksi bahan organik apa pun untuk diambil sampel dan dipelajari, mereka lantas mendasarkan perkiraan usia relief ini serupa dengan yang ditemukan di kota Petra. Akibatnya, batu kuno ini diyakini berusia sekitar 2.000 tahun.

 

Namun, sebuah studi yang lebih mutakhir menunjukkan sesuatu yang sangat berbeda. Setelah mempelajari beragam hal, seperti pola erosi, tanda alat dan keberadaan tulang binatang yang digali di situs terdekat, tim peneliti Eropa dan Timur Tengah menyimpulkan patung unta ini jauh lebih tua dari yang diperkirakan sebelumnya.

Dilansir di Big Think, Rabu (1/12), beberapa penelitian sebelumnya memiliki kecurigaan yang sama. Tetapi, mereka tidak dapat memberikan bukti yang diperlukan untuk mengkonfirmasinya.

Tahun lalu, arkeolog Prancis yang awalnya menemukan patung-patung di Al-Jawf, Guillaume Charloux, memperkirakan temuan itu bisa menjadi bagian dari tradisi seni cadas Neolitik, yang lebih tua dan lebih luas. Hal ini dtandai dengan penggambaran unta yang naturalistik dan seukuran aslinya. Satu-satunya perbedaan adalah temuan di Al-Jawf sedikit lebih tiga dimensi.

Dipimpin oleh Charloux bersama arkeolog Maria Guagnin, sebuah tim diturunkan untuk mencoba melihat apakah usia tamuan ini bisa ditentukan melalui 'studi teknologi' yang memberikan hasil mutlak.

Semangat ini muncul dari inspirasi gagasan yang menyebut batu unta ini kemungkinan merupakan sebuah terobosan artistik. Mereka pun menggunakan berbagai alat ukur untuk menentukannya.

Setelah terpapar beragam unsur dan cuaca selama ribuan tahun, artefak ini berada dalam kondisi yang sangat buruk dan menyulitkan proses penelitian. Para arkeolog lantas menggunakan penanggalan optically stimulating luminescence (OSL) untuk menelusuri kembali proses erosi, kembali ke titik waktu ketika posisi unta kurang lebihnya masih belum banyak tersentuh.

Untuk menjalankan analisis ini, gambar yang sangat detail harus banyak diproduksi. Patung-patung ini difoto beberapa kali sehari, karena posisi matahari sangat mempengaruhi jarak pandang. Para arkeolog juga memotret patung-patung di malam hari menggunakan cahaya buatan, memberi mereka data tambahan untuk dikerjakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement