2. Menyiapkan bekal secukupnya
Imam Al-Ghazali mengingatkan untuk mempersiapkan bekal secukupnya dan memperbaiki niat hati dalam memberikan maupun membelanjakannya, tanpa disertai kekikiran dan sikap berlebihan. Perbekalan baiknya digunakan sederhana.
Di sisi lain, hal ini berarti mengingatkan jamaah untuk menghindari pula perilaku bersenang-senang dan makan makanan yang enak, atau bermewah-mewahan dalam berpakaian. Sementara banyak memberi dan berbagai rezeki, menurut Al-Ghazali, tidak termasuk sikap berlebihan.
Menurutnya, menggunakan bekal untuk perjalanan haji sama dengan menginfakkannya di jalan Allah SWT. Satu dirham yang diinfakkan di jalan Allah dibalas dengan tujuh ratus dirham.
3. Meninggalkan ar-rafats, al-fusuq, dan al-jadal
Kata al-rafats merupakan kata umum yang mencakup segala perkataan sia-sia, keji dan kotor. Termasuk di dalamnya perbuatan bersenda gurau atau membicarakan hubungan suami-istri. Membicarakan hubungan suami-istri disebut merupakan perbuatan yang dilarang karena mendorong kepada hal terlarang.
Al-fusuq merupakan kata umum yang mencakup semua keadaan yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Sementara, al-jadal adalah berlebihan dalam permusuhan dan pertengkaran dengan hal-hal yang dapat menyebabkan kedengkian dan perpecahan, serta meruntuhkan budi pekerti yang baik.
Sufyan As-Tsauri menuturkan, “Siapa saja yang melakukan ar-rafats, maka rusaklah hajinya.” Karena itu, Rasulullah SAW menjadikan tutur kata yang baik dan berbagi makanan sebagai kriteria haji yang mabrur.
Rasulullah SAW pernah bersabda tiada balasan haji yang mabrur kecuali surga.
اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةَ
Artinya, “Haji mabrur itu tidak ada balasan untuknya selain surga.”
Berdasarkan hal itu, sudah sepantasnya jamaah haji mengurangi pembicaraan yang tidak penting, senda gurau, apalagi pertentangan dengan sesama jamaah. Justru, selama di perjalanan menuju Baitullah hendaknya merendahkan diri dan menunjukkan perangai yang baik.