Pada akhirnya, dia berkompromi dengan mengumumkan bahwa jika dia harus sujud saat memasuki istana, maka dia hanya akan melakukannya di hadapan Allah.
Mansa Musa berdiri dalam tradisi panjang raja-raja Afrika Barat yang telah berziarah ke Makkah, dan seperti para pendahulunya, dia bepergian dengan penuh gaya.
Ibn Battuta mencatat tampilan kekayaan, termasuk kehadiran besar pengawal, pejabat, kuda pelana, dan bendera berwarna. Mansa Musa bepergian dengan istrinya, Inari Kunate, yang membawa serta 500 pelayannya.
Istrinya pun dihormati dan ditakuti. Para penguasa di berbagai kota memberikan penghormatan kepadanya.
Namun, Ibn Battuta mencatat di istana Mansa Musa, syariah dipraktikkan secara informal dalam masalah pernikahan. Dia mencatat Ibn Amir Hajib, seorang anggota istana Mamluk, mencatat bagaimana Mansa Musa dengan ketat menjalankan sholat dan mengetahui Alquran.
Namun, ia mempertahankan kebiasaan bahwa jika salah satu rakyatnya memiliki seorang putri cantik, dia membawanya ke istana raja tanpa menikah. Ibn Amir Hajib memberi tahu Mansa Musa bahwa praktik seperti ini tidak diizinkan menurut hukum Islam.
Mansa Musa menjawab, “Bahkan kepada raja? Ibnu Amir Hajib berkata, “Tidak juga kepada raja-raja.” Sejak saat itu, Mansa Musa menahan diri dari praktik tersebut.
Mansa Musa Membangun Masjid
Perjalanan Haji Mansa Musa berdampak signifikan pada perkembangan Islam di Mali dan pada persepsi Mali di seluruh Afrika dan Eropa. Selepas perjalanan hajinya, Mansa Musa mulai membangun masjid-masjid, pusat-pusat pendidikan, dan perpustakaan.
Menurut Levtzion, ziarah Mansa Musa tercatat di banyak sumber, baik Muslim maupun non-Muslim dan dari Afrika Barat dan Mesir. Mali juga muncul di peta orang Yahudi dan Kristen di Eropa. Di Mali, Musa dikenal membangun masjid dan mengundang cendekiawan Islam dari seluruh dunia Muslim ke kerajaannya.