Kejaksaan Negeri Samosir menetapkan Kepala Dinas Sosial dan Pemberintahan Masyarakat Desa (PMD) Samosir, FAK, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi bantuan bencana alam. Jaksa penuntut umum menyatakan FAK menolak memberikan keterangan saat diperiksa.
Aliran Dana Belum Terungkap
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Samosir, Satria Irawan, menjelaskan bahwa penyidik belum mengetahui aliran dana hasil dugaan korupsi tersebut karena tersangka FAK tidak bersedia diperiksa. “Sampai saat ini, penyidik belum menemukan fakta hukum terkait penggunaan uang tersebut dikarenakan tersangka (FAK) belum bersedia diperiksa sebagai tersangka,” ujar Satria, Senin (29/12/2025).
Satria menambahkan bahwa FAK telah diberikan hak untuk didampingi pengacara selama proses pemeriksaan. Namun, tersangka tetap memilih bungkam. “Ketika ditetapkan sebagai tersangka, tersangka sudah diberikan hak untuk didampingi penasihat hukum untuk diperiksa. Namun tersangka menolak memberi keterangan,” jelas Satria. “Pada saat dijadwalkan kembali untuk diperiksa dengan didampingi penasihat hukum yang ditunjuk tersangka, tersangka tetap menolak untuk memberi keterangan sampai saat ini.”
Duduk Perkara Dugaan Korupsi
FAK diduga mengubah sepihak mekanisme penyaluran bantuan korban bencana alam senilai Rp 1,5 miliar. Bantuan yang seharusnya disalurkan dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 5 juta per keluarga, diubah menjadi barang senilai Rp 3 juta per keluarga.
Menurut Satria, Kementerian Sosial awalnya mengalokasikan bantuan sebesar Rp 5 juta per keluarga terdampak bencana. Dana sebesar Rp 1.515.000.000 digelontorkan untuk 303 keluarga korban bencana banjir bandang di Samosir pada tahun 2024. “Bahwa pada tahun 2024, 303 kepala keluarga yang terkena dampak banjir di tiga desa di Kecamatan Harian, Samosir, menerima bantuan uang sebesar Rp 5.000.000 per KK dari Kementerian Sosial Republik Indonesia,” papar Satria.
FAK, yang bertugas sebagai pengawas dan pemantau program bantuan, diduga menunjuk BUMDes-MA Marsada Tahi sebagai penyedia barang yang akan disalurkan kepada korban. “Barang yang dibelikan atau disalurkan ke masyarakat harganya sekitar Rp 3 juta sampai Rp 3,5 juta setiap KK-nya,” ungkap Satria.
Pengacara Bantah Dugaan Korupsi
Kuasa hukum FAK, Dwi Natal Ngai Sinaga, menyatakan bahwa peningkatan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan pada 1 Juli 2025 dilakukan sebelum hasil audit kerugian keuangan negara tersedia. Ia berpendapat bahwa penetapan tersangka seharusnya dilakukan setelah ada perhitungan kerugian negara. “Peningkatan status perkara tersebut dilakukan ketika belum ada hasil audit kerugian keuangan negara. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dari aspek hukum acara pidana,” kata Dwi Natal Ngai Sinaga, seperti dilansir Antara.
Pengacara FAK lainnya, Rudi Zainal Sihombing, juga membantah dugaan penerimaan fee sebesar 15% oleh kliennya. Ia menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak disertai bukti yang memadai. “Jika benar ada fee, tentu terdapat pihak yang memberi dan menerima. Namun menjadi pertanyaan mengapa hanya klien kami yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara pihak lain tidak,” ujar Rudi.






