Berita

KPK Hentikan Kasus Tambang Rp 2,7 T Konawe Utara, Tak Cukup Bukti Meski Rugikan Negara Lebih dari e-KTP

Advertisement

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang telah diusut sejak 2017. Penghentian ini dilakukan setelah penyidik tidak menemukan kecukupan bukti, meskipun kerugian negara yang diindikasikan mencapai Rp 2,7 triliun, bahkan disebut lebih besar dari kasus korupsi e-KTP.

Kasus Bermula dari Penetapan Tersangka Mantan Bupati

Kasus ini pertama kali diumumkan oleh KPK pada 3 Oktober 2017. Saat itu, KPK menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Aswad dilakukan terkait dugaan korupsi dalam proses perizinan tambang.

“Menetapkan ASW (Aswad Sulaiman) sebagai tersangka,” ujar Saut Situmorang saat itu di gedung KPK, Jakarta Selatan.

Indikasi Kerugian Negara Rp 2,7 Triliun

Saut Situmorang mengungkapkan bahwa indikasi kerugian negara dalam kasus ini mencapai sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun. Angka tersebut berasal dari penjualan produksi nikel yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum. Saut bahkan membandingkan kerugian ini lebih besar dibandingkan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

“Indikasi kerugian negara yang sekurang-kurangnya Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan produksi nikel, yang diduga diperoleh dari proses perizinan yang melawan hukum,” jelas Saut.

Pencabutan Kuasa Pertambangan dan Penerbitan Izin Baru

Menurut KPK, Aswad Sulaiman diduga secara sepihak mencabut kuasa pertambangan yang mayoritas dikuasai PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam. Setelah pencabutan tersebut, Aswad disebut menerima pengajuan permohonan izin eksplorasi dari delapan perusahaan. Hal ini berujung pada penerbitan 30 surat keputusan (SK) kuasa permohonan eksplorasi.

“Dalam keadaan (kuasa pertambangan) masih dikuasai PT Antam, Tersangka selaku penjabat bupati menerima pengajuan permohonan izin eksplorasi dari delapan perusahaan yang kemudian menerbitkan 30 SK kuasa permohonan eksplorasi,” terang Saut Situmorang pada Selasa, 3 Oktober 2017.

Aswad, yang menjabat sebagai Penjabat Bupati Konawe Utara periode 2007-2009 dan Bupati Konawe Utara periode 2011-2016, diduga menerima uang sebesar Rp 13 miliar dari perusahaan-perusahaan tersebut.

“Tadi kita sebut ada beberapa company, kan. Berapa company ngasih berapa, itu masih kita dalami. Masih pendalaman. Company-nya kita nggak sebut sementara ini,” imbuh Saut.

Advertisement

Penyidikan Akan Dikembangkan ke Pihak Lain

Saut memastikan bahwa penyidikan kasus ini akan terus dikembangkan untuk menelusuri keterlibatan pihak lain. Pasal yang disangkakan kepada Aswad adalah Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, yang mengindikasikan tindak pidana dilakukan bersama-sama.

“Jadi akan dikembangkan nantinya ‘dan kawan-kawan’ ke arah mana, siapa saja nanti, terus menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu, analisis kerugian ini bisa lebih besar. Dikaitkan dengan bagaimana masalah transaksional di kabupaten itu terjadi. Memang ada sejarah panjang juga,” tegas Saut.

SP3 Diterbitkan karena Tidak Cukup Bukti

Terbaru, KPK mengumumkan telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus ini. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa penyidik tidak menemukan kecukupan bukti meskipun kasus ini telah berjalan lama dan melibatkan penetapan tersangka.

“Bahwa tempus perkaranya adalah 2009, dan setelah dilakukan pendalaman pada tahap penyidikan tidak ditemukan kecukupan bukti,” ujar Budi kepada wartawan pada Jumat, 26 Desember 2025.

Menurut Budi, SP3 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait. KPK juga menyatakan tetap terbuka jika ada informasi lebih lanjut mengenai kasus ini.

“Sehingga KPK menerbitkan SP3 untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait. Kami terbuka, jika masyarakat memiliki kebaruan informasi yang terkait dengan perkara ini untuk dapat menyampaikannya kepada KPK,” tuturnya.

Penerbitan SP3 oleh KPK dimungkinkan setelah revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019, yang tertera dalam Pasal 40 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Advertisement